makalah lengkap cutaneous larva migrans CLM hisbullah b

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Cutaneus Larva Migran (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang sudah dikenal sejak tahun 1874. Awalnya ditemukan pada daerah-daerah tropikal dan subtropikal beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah tersebut. Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan karakteristik utama dari CLM.
Pemeliharaan hewan kesayangan seperti anjing dan kucing jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang penyebaran penyakit dapat meningkatkan resiko penularan penyakit dari hewan ke hewan lain atau ke manusia lain. Ditambah lagi dengan banyak nya hewan yang hidup liar dan tidak mempunyai majikan, sehingga angka penularan penyakit akan meningkat.
Invasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki,atau yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama. Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat di Indonesia pun banyak dijumpai.
Faktor resiko utama bagi penyakit ini adalah kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, faktor resiko nya adalah pada tukang kebun, petani, dan orang-orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir. CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan beberapa penelitian yang ada terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik karena tingkat keberhasilannya lebih baik daripada terapi topical.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya antara lain:
1. Apa defenisi CLM?
2. Bagaiman epidemiologi penyakit CLM?
3. Bagaimana faktor resiko CLM?
4. Bagaimana etiologi dan Morfologi penyakit CLM?
5. Bagaiman siklus hidup CLM?
6. Bagaiman Patogenesis, Gejalah Kelinis, Diagnosois Dan Diagnosis Banding dari pada CLM?
7. Bagaiman Pengobatan Dan Pencegahan serta Prognosis CLM?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka makalah ini bertujuan untuk:
a. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi Sebagai bagian dari tugas mata kuliah.
b. tujuan umum
1. Untuk Mengetahui Defenisi CLM
2. Untuk Mengetahui Epidemiologi Penyakit CLM
3. Untuk Mengetahui Faktor Resiko CLM
4. Untuk Mengetahui Etiologi Dan Morfologi Penyakit CLM
5. Untuk Mengetahui Siklus Hidup CLM
6. Untuk Mengetahui Patogenesis, Gejalah Kelinis, Diagnosois Dan Diagnosis Banding Dari Pada CLM
7. Untuk Mengetahui Pengobatan Dan Pencegahan serta Prognosis CLM
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan yang berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing dan anjing, yaitu Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum (Aisah, 2010). Selama beberapa dekade, istilah CLM dan creeping eruption sering disamaartikan. Perbedaannya adalah, CLM menggambarkan sindrom, sedangkan creeping eruption menggambarkan gejala klinis. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur (Caumes, 2006).
Penyakit yang menimbulkan gejala berupa creeping eruption tapi tidak disebabkan oleh parasit non-larva tidak disebut sebagai CLM, misalnya seperti pada dracunculiasis, loiasis, skabies, schistosomiasis, ataupun onchocerciasis (Kourilova, 2004; Caumes, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Cutaneous larva migrans, creeping eruption, dermatosis linearis migrans4, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan ditanah pasir atau di pantai), strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung).

2.2. Epidemiologi
CLM terjadi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia, terutama di daerah yang lembab dan terdapat pesisir pasir. Di Amerika Serikat, penyakit ini sebagian besar terjadi di negara bagian tenggara, terutama Florida, tetapi dapat juga ditemukan secara sporadik di negara bagian lain (Donaldson et al, 1950 dalam Gutiérrez, 2000). Kasus CLM telah dilaporkan di Jerman, Prancis, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat (Feldmeier dan Schuster, 2011).
CLM endemik di masyarakat kurang mampu di negara berkembang, seperti Brazil, India, dan Hindia Barat. Sebuah studi di Manaus, Brazil, menunjukkan prevalensi CLM pada anak-anak selama musim hujan berkisar 9,4%. Di daerah perkumuhan di Timur Laut Brazil, didapati lebih dari 4% dari keseluruhan populasi dan 15% pada anak-anak menderita CLM (Feldmeier dan Schuster, 2011).
Di negara-negara berpenghasilan tinggi, CLM terjadi secara sporadis atau dalam bentuk epidemi yang kecil. Kasus sporadis biasanya berhubungan dengan kondisi iklim yang tidak umum seperti musim semi atau hujan yang memanjang. Penyakit ini sering muncul pada daerah dimana anjing dan kucing tidak diberikan antihelmintes secara teratur (Heukelbach et al, 2008).
Secara geografis, distribusi CLM mencerminkan distribusi geografi Ancylostoma braziliense. Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah wisatawan yang sering berkunjung ke daerah pantai. Ancylostoma braziliense endemik pada anjing dan kucing, sering ditemukan di sepanjang Pantai Atlantik Amerika Utara bagian tenggara, Teluk Meksiko, Laut Karibia, Uruguay, Afrika (Afrika Selatan, Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone), Australia, dan Asia. Penyakit ini tidak muncul setelah terpapar pantai yang tidak terdapat Ancylostoma braziliense, misalnya Pantai Pasifik Amerika Serikat dan Meksiko (Soo et al, 2003).

2.3. Faktor Risiko
1. Faktor perilaku
Adapun faktor perilaku yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a. Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki
Adanya bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah yang terkontaminasi akan mengakibatkan larva dapat melakukan penetrasi ke kulit sehingga menyebabkan CLM (Abdulla dan Selim, 1998).
b. Pengobatan teratur terhadap anjing dan kucing
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing (Aisah, 2010). Perawatan rutin anjing dan kucing, termasuk de-worming secara teratur dapat mengurangi pencemaran lingkungan oleh telur dan larva cacing tambang (CDC, 2012).
c. Berlibur ke daerah tropis atau pesisir pantai
Kondisi biogeografis yang hangat dan lembab menyebabkan banyak terdapat larva penyebab penyakit ini di daerah tropis (Brenner dan Patel, 2003). Selain itu, kebiasaan wisatawan untuk berjalan di pesisir pantai tanpa menggunakan sandal dan berjemur di pasir tanpa menggunakan alas menyebabkan banyaknya laporan kejadian CLM dari wisatawan yang baru berlibur ke pantai (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Sebuah penelitian pada wisatawan international yang baru meninggalkan Brazil bagian Timur Laut di bandara menunjukkan bahwa semua wisatawan yang menderita CLM telah mengunjungi pantai selama liburannya (Heukelbach et al, 2007).

2. Faktor lingkungan
Adapun faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a. Keberadaan anjing dan kucing
Anjing dan kucing merupakan hospes definitif dari cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum. Tinja anjing dan kucing yang terinfeksi dapat mengandung telur cacing Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum dan Ancylostoma caninum. Telur tersebut dapat berkembang menjadi stadium larva yang infektif (filariform) pada tanah dan pasir yang terkontaminasi. Larva filariform dari cacing tersebut apabila kontak dengan kulit manusia, dapat menembus kulit dan menyebabkan CLM (Supali et al, 2009).
b. Cuaca atau iklim lingkungan
Ada variasi musiman yang berbeda pada kejadian CLM, dengan puncak kejadian selama musim hujan. Telur dan larva bertahan lebih lama di tanah yang basah dibandingkan di tanah yang kering dan dapat tersebar secara luas oleh hujan yang deras. Selain itu, iklim yang lembab juga mengakibatkan peningkatan infeksi cacing tambang di anjing dan kucing sehingga pada akhirnya meningkatkan jumlah tinja yang terkontaminasi dan risiko infeksi pada manusia (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
c. Tinggal di daerah dengan keadaan pasir atau tanah yang lembab
Telur Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum dikeluarkan bersama tinja anjing dan kucing. Pada keadaan lingkungan yang lembab dan hangat, telur akan menetas menjadi larva rabditiform dan kemudian menjadi larva filariform yang infektif. Larva filariform inilah yang akan melakukan penetrasi ke kulit dan menyebabkan CLM (CDC, 2012).

3. Faktor demografis
Adapun faktor demografis yang mempengaruhi kejadian CLM antara lain :
a. Usia
CLM paling sering terkena pada anak berusia =4 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada usia tersebut masih jarang menggunakan alas kaki saat keluar rumah. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa usia merupakan faktor demografis yang hubungannya paling signifikan dengan kejadian CLM (p<0,0001) (Heukelbach et al,2008).
b. Pekerjaan Larva infektif penyebab
CLM terdapat pada tanah atau pasir yang lembab. Orang yang pekerjaannya sering kontak dengan tanah atau pasir tersebut dapat meningkatkan risiko terinfeksi larva CLM. Pekerjaan yang memiliki risiko teinfeksi larva penyebab CLM diantaranya petani, nelayan, tukang kebun, pemburu, penambang pasir dan pekerjaan lain yang sering kontak dengan tanah atau pasir (Aisah, 2010).
c. Tingkat pendidikan
Suatu penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko CLM di Brazil menunjukkan, dari 1114 penduduk pedesaan, didapati 23 dari 354 (6,5%) penduduk dengan tingkat pendidikan rendah menderita CLM, sedangkan pada penduduk dengan tingkat pendidikan tinggi, didapati 34 dari 760 (4,5%) orang menderita CLM (Heukelbach et al,2008).

2.4. Etiologi
Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides. Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti Hypoderma dan Gasterophilus (Eckert, 2005). Di Asia Timur, CLM umumnya disebabkan oleh Gnasthostoma sp. pada babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Dermatobia maxiales, Lucilia caesar (Aisah, 2010).
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik. (CDC, 2012)

2.5 Morfologi
Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi (Supali et al, 2009). Panjang cacing jantan dewasa Ancylostoma caninum berukuran 11-13 mm dengan bursa kopulatriks dan cacing betina dewasa berukuran 14-21 mm. Cacing betina meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya (Palgunadi, 2010).
Morfologi Ancylostoma braziliense mirip dengan Ancylostoma caninum, tetapi kapsul bukalnya memanjang dan berisi dua pasang gigi sentral. Gigi sebelah lateral lebih besar, sedangkan gigi sebelah medial sangat kecil. Selain itu, pada Ancylostoma braziliense juga terdapat sepasang gigi segitiga di dasar bukal kapsul. Cacing betina berukuran 6-9 mm dan cacing jantan berukuran 5-8 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan telur 4.000 butir setiap hari (Palgunadi, 2010). Morfologi Ancylostoma ceylanicum juga hampir sama dengan A. braziliense dan A. caninum, hanya saja pada rongga mulut A. ceylanicum terdapat terdapat dua pasang gigi yang tidak sama besarnya (Supali et al, 2009).
2.6. Siklus Hidup
Telur keluar bersama tinja pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih dalam setelah bermigrasi di kulit (CDC, 2012).

2.7. Patogenesis
Telur pada tinja menetas di permukaan tanah dalam waktu 1 hari dan berkembang menjadi larva infektif tahap ketiga setelah sekitar 1 minggu. Larva dapat bertahan hidup selama beberapa bulan jika tidak terkena matahari langsung dan berada dalam lingkungan yang hangat dan lembab. Kemudian jika terjadi kenaikan suhu, maka larva akan mencari pejamunya. Setelah menempel pada manusia, larva merayap di sekitar kulit untuk tempat penetrasi yang sesuai.
Akhirnya, larva menembus ke lapisan korneum epidermis. Larva infektif mengeluarkan protease dan hialuronidase agar dapat bermigrasi di kulilt manusia (Heukelbach dan Feldmeier, 2008). Selanjutnya, larva bermigrasi melalui jaringan subkutan membentuk terowongan yang menjalar dari satu tempat ke tempat lainnya (Shulmann et al, 1994 dalam Palgunadi, 2010).
Pada hewan, larva mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Pada manusia, larva tidak memiliki enzim kolagenase yang cukup untuk menembus membran basal dan menyerang dermis, sehingga larva tersebut tidak dapat melanjutkan perkembangan siklus hidupnya. Akibatnya, selamanya larva terjebak di jaringan kulit penderita hingga masa hidup dari cacing ini berakhir (Juzych, 2012; Palgunadi, 2010).

2.8. Gejala Klinis
Pada saat larva masuk ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas di tempat larva melakukan penetrasi. Rasa gatal yang timbul terutama terasa pada malam hari, jika digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder (Natadisastra & Agoes, 2009). Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Perkembangan selanjutnya, papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter (Aisah, 2010). Pada stadium yang lebih lanjut, lesi-lesi ini akan lebih sulit untuk diidentifikasi, hanya ditandai dengan rasa gatal dan nodul-nodul (Vega-Lopez dan Hay, 2004).
Lesi tidak hanya berada di tempat penetrasi. Hal ini disebabkan larva dapat bergerak secara bebas sepanjang waktu. Umumnya, lesi berpindah ataupun bertambah beberapa milimeter perhari dengan lebar sekitar 3 milimeter. Pada CLM, dapat dijumpai lesi tunggal atau lesi multipel, tergantung pada tingkat keparahan infeksi (CDC, 2012), \
Pada infeksi percobaan dengan 50 larva, didapati gejala mulai muncul beberapa menit setelah tusukan, diikuti dengan munculnya papul-papul setelah 10 menit. Beberapa jam kemudian, bercak awal mulai digantikan oleh papul kemerahan. Papul-papul kemudian bergabung membentuk erupsi eritematopapular, yang kemudian akan menjadi vesikel yang sangat gatal setelah 24 jam. Lesi berbentuk linear atau berkelok-kelok mulai muncul 5 hari setelah infeksi (Africa, 1932 dalam Gutiérrez, 2000).
CLM biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang berkontak langsung dengan tanah atau pasir (CDC, 2012). Tempat predileksi antara lain di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong, dan paha (Aisah, 2010).
Pada kondisi sistemik, gejala yang muncul antara lain eosinofilia perifer (sindroma Loeffler), infiltrat pulmonar migratori, dan peningkatan kadar imunoglobulin E, namun kondisi ini jarang ditemui (Vano-Galvan et al, 2009).

2.9. Diagnosis
Diagnosis CLM ditegakkan berdasarkan gejala klinisnya yang khas dan disertai dengan riwayat berjemur, berjalan tanpa alas kaki di pantai atau aktivitas lainnya di daerah tropis, biopsi tidak diperlukan (Vano-Galvan et al, 2009).
Prosedur invasif jarang digunakan untuk mengindentifikasi parasit pada CLM. Hal ini disebabkan karena ujung anterior lesi tidak selalu menunjukkan tempat dimana larva berada. Pada pemeriksaan lab, eosinofilia mungkin ditemukan, namun tidak spesifik. Dalam sebuah penelitian di Jerman pada wisatawan dengan CLM, hanya pada 8 (20%) dari 40 orang didapatkan eosinofilia. Namun, peningkatan kadar eosinofil dapat mengindikasikan perpindahan larva cacing ke visceral, tetapi ini termasuk komplikasi yang jarang terjadi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
CLM yang disebabkan oleh Ancylostoma caninum dapat dideteksi dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay). Sekarang ini, mikroskop epiluminesens telah digunakan untuk memvisualisasikan pergerakan larva, namun sensitivitas metode ini belum diketahui (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).

2.10. Diagnosis Banding
Jika ditinjau dari terowongan yang ada, CLM harus dibedakan dengan skabies. Pada skabies, terowongan yang terbentuk tidak sepanjang pada CLM. Namun, apabila dilihat dari bentuknya yang polisiklik, penyakit ini sering disalahartikan sebagai dermatofitosis. Pada stadium awal, lesi pada CLM berupa papul, karena itu sering diduga dengan insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, lesi berupa papul-papul sering menyerupai herpes zoster stadium awal (Aisah, 2010).
Diagnosis banding yang lain antara lain dermatitis kontak alergi, dermatitis fotoalergi (Robson dan Othman, 2008), loiasis, myasis, schistosomiasis, tinea korporis (Heukelbach dan Feldmeier, 2008), dan ganglion kista serpiginius (Friedli et al, 2002). Kondisi lain yang bukan berasal dari parasit yang menyerupai CLM adalah tumbuhnya rambut secara horizontal di kulit (Sakai et.al, 2006).

2.11. Pengobatan
Menurut Heukelbach dan Feldmeier (2008), obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 µg/kg berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%. Dalam hal kegagalan pengobatan, dosis kedua biasanya dapat memberikan kesembuhan. Ivermectin kontradiksi pada anak-anak dengan berat kurang dari 15 kg atau berumur kurang dari 5 tahun dan pada ibu hamil atau wanita menyusui. Namun, pengobatan offlabel pada anak-anak dan ibu hamil sudah pernah dilakukan dengan tanpa adanya laporan kejadian merugikan yang signifikan (Saez-de-Ocariz et al, 2002; Gyapong et al, 2004 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Dosis tunggal ivermectin lebih efektif daripada dosis tunggal albendazol, tetapi pengobatan berulang dengan albendazol dapat dilakukan sebagai alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia. Oral albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari menunjukkan tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Tiabendazol (50 mg per kg berat badan selama 2-4 hari) telah digunakan secara luas sejak laporan mengenai efikasinya pada tahun 1963. Namun, tiabendazol yang diberikan secara oral memiliki toleransi yang buruk. Selain itu, penggunaan tiabendazol secara oral sering menimbul efek samping berupa pusing, mual muntah, dan keram usus. Karena penggunaan ivermectin dan albendazol secara oral menunjukkan hasil yang baik, penggunaan tiabendazol secara oral tidak direkomendasikan (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Penggunaan tiabendazol secara topikal pada lesi dengan konsentrasi 1015% tiga kali sehari selama 5-7 hari terbukti memiliki efektivitas yang sama dengan pengguaan ivermectin secara oral. Penggunaan secara topikal didapati tidak memiliki efek samping, tetapi memerlukan kepatuhan pasien yang baik. Tiabendazol topikal terbatas pada lesi multipel yang luas dan tidak dapat digunakan pada folikulitis. Ivermectin dan albendazol adalah gabungan yang menjanjikan untuk penggunaan topikal, terutama untuk anak-anak, namun data efikasi untuk penggunaan ini masih terbatas. Infeksi sekunder harus ditangani dengan antiobiotik topikal (Heukelbach dan Feldmeier, 2008).
Cara terapi lain ialah dengan cryotherapy yakni menggunakan CO snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, dua hari berturutturut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menggunakan nitrogen liquid dan penyemprotan kloretil sepanjang lesi. Akan tetapi, ketiga cara tersebut sulit karena sulit untuk mengetahui secara pasti dimana larva berada. Di samping itu, cara ini dapat menimbulkan nyeri dan ulkus. Pengobatan dengan cara ini sudah lama ditinggalkan (Aisah, 2010).

2.12. Pencegahan
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian CLM antara lain:
1. Mencegah bagian tubuh untuk berkontak langsung dengan tanah atau pasir yang terkontaminasi (Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
2. Saat menjemur pastikan handuk atau pakaian tidak menyentuh tanah (Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
3. Melakukan pengobatan secara teratur terhadap anjing dan kucing dengan antihelmintik (Bava et al, 2011)
4. Hewan dilarang untuk berada di wilayah pantai ataupun taman bermain (Bava et al, 2011)
5. Menutup lubang-lubang pasir dengan plastik dan mencegah binatang untuk defekasi di lubang tersebut (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
6. Wisatawan disarankan untuk menggunakan alas kaki saat berjalan di pantai dan menggunakan kursi saat berjemur (Tremblay et al, 2000 dalam Heukelbach dan Feldmeier, 2008)
Akan tetapi, pada masyarakat yang kurang mampu, keterbatasan finansial mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk memberikan pengobatan yang teratur terhadap anjing dan kucing. Sehingga pada akhirnya, pemberantasan cacing tambang pada binatang hanya bisa dilakukan dengan cara melakukan pengontrolan yang terintegrasi antara pihak kesehatan masyarakat, antropologis medis, dokter hewan, dan masyarakat (Heukelbach, Mencke, dan Feldmeier, 2002).

2.13. Prognosis
CLM termasuk ke dalam golongan penyakit self-limiting. Pada akhirnya, larva akan mati di epidermis setelah beberapa minggu atau bulan. Hal ini disebabkan karena larva tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada manusia (Hochedez dan Caumes, 2007). Lesi tanpa komplikasi yang tidak diobati akan sembuh dalam 4-8 minggu, tetapi pengobatan farmakologi dapat memperpendek perjalanan penyakit (Robson dan Othman, 2008).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cutaneus Larva Migran (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang sudah dikenal sejak tahun 1874. Awalnya ditemukan pada daerah-daerah tropikal dan subtropikal beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah-daerah tersebut. Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan karakteristik utama dari CLM.
Faktor resiko dari CLM adalah meliputi faktor prilaku, faktor lingkunga, dan faktor demografi. Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang dari kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma ceylanicum, dan Ancylostoma caninum) dan Strongyloides.
Obat pilihan utama pada CLM adalah ivermectin. Dosis tunggal (200 µg/kg berat badan) dapat membunuh larva secara efektif dan menghilangkan rasa gatal dengan cepat. Angka kesembuhan dengan dosis tunggal berkisar 77% sampai 100%.

3.2. Saran
Di sarankan agar menghindari faktor resiko terjangkitnya penyakit CLM, karena CLM dapat menular kepada semua umur, dan penularanya sangat mudah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Cutaneous Larva Migrans: The Creeping Eruption. Diunduh dari Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and Medication. Diunduh dari http://www.emedicine.com. Pada tanggal 29 Desember 2009. Update terakhir 20 November 2009.
Anonymous. Clinical Presentation in Humans. Diunduh dari http://www.stanford.edu/group/parasites/parasites2002/cutaneous_larva_migrans/clinical%20presentation.html pada tanggal 29 Desember 2009
Aisah S. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI. 125-6 (2007)
Dugdale,DC. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001454.htm
Update terakhir 12 Maret 2008
Anonymous. Cutaneous Larva Migrans. Diunduh dari http://www.en.wikipedia.org/wiki/Cutaneous_larva_migrans

PRAKTIKUM KIIMIA ANALIS PARACETAMOL > UJI KUALITATIF

Tag

LAPORAN

 

 

PRAKTIKUM KIMIA ANALIS

PARACETAMOL”

 

Disusun Oleh :

 

HISBULLAH BAHAR

913 312 906 105. 006

 

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

A V I C E N N A

KENDARI

2015

 

PARACETAMOL

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. TUJUAN

Adapun tujuan dari prakrikum ini adalah untuk memeberikan pengetahuan kepada mahasiswa agar mampu mengetahui bagai mana cara menetapkan kadar PARACETAMOL dengan uji kualitatif

  1. LANDASAN TEORI

Paracetamol merupakan turunan senyawa sintesis dari p-aminofenol yang memberikanefek analgesia dan antipiretika. Senyawa ini dikenal dengan nama lain asetaminofen, merupakan senyawa metabolit aktif fenasetin, namun tidak memiliki sifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Senyawa ini memilik nama kimia N-asetil-p-aminofenol atau p-asetamidofenol atau 4’-hidroksiasetanilida (Depkes RI, 1979).

Obat yang bersifat analgesik (penahan rasa sakit/nyeri) dan antipiretik (penurun panas/demam) adalah obat yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, karena obat ini dapat berkhasiat menyembuhkan demam, sakit kepala dan rasa nyeri. Umumnya obat yang bersifat analgesik dan antipiretik ini mengandung zat aktif yang disebut asetaminofen atau yang lebih dikenal dengan parasetamol (Rachdiati, 2008).

Analisis kimia merupakan penggunaan sejumlah teknik dan metode untuk memperoleh aspek kualitatif, kuantitatif, dan informasi  struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya dan bahan kimia pada umumnya. Dalam analisis kimia yang paling sering digunakan adalah analisis kimia secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif merupakan analisis untuk melakukan identifikasi elemen, spesies, dan/atau senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel. Dengan kata lain, analisis kualitatif berkaitan dengan cara untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu analit yang dituju dalam suatu sampel (Gandjar, 2007).

Analisis kualitatif merupakan suatu proses dalam mendeteksi keberadaan suatu unsur kimia dalam cuplikan yang tidak di ketahui. Analisis kualitatif merupakan suatu cara yang paling efektif untuk mempelajari kimia dan unsur-unsur serta ion-ionnya dalam larutan.Dalam metode analisis kualitatif,kita menggunakan beberapa pereaksi,di antaranya pereaksi golongan dan pereaksi spesifik. Analisis kualitatatif dapat digunakan untuk menganalisis reaksi-reaksi khusus senyawa yang mengandung C,H,N,O. ( Miessler,1991 ).

Parasetamol merupakan zat aktif  pada obat yang banyak digunakan dan dimanfaatkan sebagai analgesik dan antipiretik. Parasetamol dimetabolisir oleh hati dan dikeluarkan melalui ginjal. Parasetamol tidak merangsang selaput lendir lambung atau menimbulkan pendarahan pada saluran cerna. Diduga mekanisme kerjanya adalah menghambat pembentukan prostaglandin. Obat ini digunakan untuk melenyapkan atau meredakan rasa nyeri dan menurunkan panas tubuh. Analisis parasetamol dilakukan untuk memastikan bahwa tablet parasetamol sesuai dengan kriteria yang tertera pada Farmakope Indonesia dan memastikan bahwa parasetamol dapat memberikan efek farmakologi yang diharapkan pada pasien (Ansel, 1989).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

METODE PRAKTIKUM

  1. ALAT DAN BAHAN
  2. ALAT
  3. Lumpeng dan alu
  4. Tabung reaksi
  5. Pipet tetes
  6. Spatula
  1. BAHAN
  2. Parastamol
  3. Aquades
  4. FeCl3
  1. URAIAN BAHAN
  2. Parasetamol (Dirjen POM, 1979).

Sinonim                : acetaminophenum

Berat molekul       : 151,16

Rumus molekul    : C8H9NO2

Kelarutan             : larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol

(95%),dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian gliserol

dan  dalam 9 bagian propilenglikol; larut dalam larutan alkali hidroksida

Pemerian              : hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit

Penyimpanan        : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

Kegunaan             : sebagai sampel

  1. Besi (III) klorida (Dirjen POM, 1979).

Sinonim                : ferro chloridum

Berat molekul       : 162,2

Rumus molekul    : FeCl3

Kelarutan             : larut dalam air, larutan beropalesensi berwarna jingga.

Pemerian              : hablur atau serbuk hablur, hitam kehijauan, bebas

warna jingga dari garam hidrat yang telah terpengaruh oleh kelembaban

Penyimpanan        : dalam wadah tertutup rapat

Kegunaan             : sebagai zat tambahan

.

  1. Air Suling (Dirjen POM, 1979).

Nama Lain           : Aqua Destillata

Berat Molekul      : 18,02

Rumus Molekul   : H2O

Pemerian              : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau;      tidak  mempunyai rasa.

Penyimpanan        : Dalam wadah tertutup baik.

Kegunaan             : Sebagai pelarut.

  1. PROSEDUR KERJA

Paracetamol Dalam Sampel

  • Dagerus hingga halus
  • Di ambil 1 mg
  • Di masukkan kedalam tabung reaksi
  • Di tambahkan 1 tetes pipet aquades
  • Di tambahkan 1 tetes pipet FeCl3
  • Di amati perubahan warnanya

Hasil Pengamatan =…………….?

  1. HASIL PENGAMATAN
  2. Tabel pengamatan
PERILAKU HASIL KETERANGAN
I.paracetamol + aquades + FeCL3 Biru keunguan Setealah sampel ditambahkan air dan pereaksi FeCL3 ,dan kocok terjadi perubahan warna menjadi biru menanda adanya kandungan senyawa atau zat lain
  1. ANLISA DATA

Analisa kualitatif atau disebut juga analisa jenis adalah untuk menentukan macam atau jenis zat atau komponen-komponen bahan yang dianalisa. Dalam melakukan analisa kita mempergunanakan sifat-sifat zat atau bahan, baik sifat-sifat fisis maupun sifat-sifat kimianya.Hasil analisis secara kulitatif terdapat pada tabel tiatas

  1. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini bertujuan untuk melakukan identifikasi dan penetapan kadar senyawa parasetamol menggunakan metode titrasi nitrimetri. Untuk analisis kualitatif atau identifikasi digunakan uji organoleptis, uji kelarutan, dan reaksi warna dengan FeCl3. Sedangkan untuk analisis kuantitatif atau penetapan kadar digunakan metode volumetri dengan titrasi nitrimetri,

Uji kualitatif      selanjutnya yaitu reaksi warna menggunakan reagen FeCl3. Tahapannya yaitu parasetamol digerus supaya homogen, kemudian ditimbang secara seksama sebanyak 100 mg menggunakan neraca digital. Penimbangan tersebut tidak harus terlalu akurat karena hanya mengidentifikasi, tidak menentukan kadar. Selanjutnya, serbuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah aquadest sebanyak 10 ml hingga larut. Hasilnya yaitu terbentuk larutan bening. Kemudian, larutan parasetamol tersbut ditambah 3 tetes FeCl3.  Hasilnya yaitu terjadi perubahan warna larutan menjadi biru violet. Warna biru violet tersebut  diperoleh dari senyawa kompleks antara gugus fenol dengan ion logam Fe3+ sesuai reaksi :

Ar-OH (Fenol)+ Fe3+ (logam besi3) àFe3+ [Ar-OH]

(kompleks Fenol-Fe3+) biru violet.

Analisis kuantiatif atau penentuan kadar parasetamol dilakukan dengan metode nitrimetri karena paracetamol memiliki gugus amin aromatis primer yang dapat dianalisis dengan baik dengan menggunakan metode ini. Metode nitrimetri merupakan metode pentapan kadar secara kuntitatif dengan menggunkan larutan baku natrium nitrit, yang didasarkan pada rekasi diazotasi yakni reaksi antara amin aromatic primer dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Namun karena asam nitrit tidak stabil dan mudah terurai, maka diganti dengan natrium nitrit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. KESIMPULAN

Analisis kualitatif merupakan suatu proses dalam mendeteksi keberadaan suatu unsur kimia dalam cuplikan yang tidak di ketahui. Analisis kualitatif merupakan suatu cara yang paling efektif untuk mempelajari kimia dan unsur-unsur serta ion-ionnya dalam larutan.Dalam metode analisis kualitatif,kita menggunakan beberapa pereaksi,di antaranya pereaksi golongan dan pereaksi spesifik. Analisis kualitatatif dapat digunakan untuk menganalisis reaksi-reaksi khusus senyawa yang mengandung C,H,N,O.

Setealah sampel ditambahkan air dan pereaksi FeCL3 ,dan kocok terjadi perubahan warna menjadi biru menanda adanya kandungan senyawa atau zat lain

Analisis kuantiatif atau penentuan kadar parasetamol dilakukan dengan metode nitrimetri karena paracetamol memiliki gugus amin aromatis primer yang dapat dianalisis dengan baik dengan menggunakan metode ini. Metode nitrimetri merupakan metode pentapan kadar secara kuntitatif dengan menggunkan larutan baku natrium nitrit, yang didasarkan pada rekasi diazotasi yakni reaksi antara amin aromatic primer dengan asam nitrit dalam suasana asam membentuk garam diazonium. Namun karena asam nitrit tidak stabil dan mudah terurai, maka diganti dengan natrium nitrit.

  1. SARAN

Untuk pelaksanaan praktikum ini sebaiknya mahasiswa yang melaksanakan praktikum tersebut lebih berhati hati dalam pengambilan bahan,mahasiswa juga harus lebih tertip dalam menjalankan praktikum tersebut seperti bersuara jika penting,dan tidak ada kegiatan lain slain kegiatan praktikum

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ansel, Howard.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah: Farida Ibrahim. Penerbit Universitas Indonesia  Press.  Jakarta.

Rachdiati, Henny dan Ricson P Hutagaol dan Erna Rosdiana. Penentuan Waktu Kelarutan Parasetamol Pada Uji Disolusi. Nusa Kimia Jurnal Vol.8 No.1 : 1-6, Juni 2008. FMIPA UNB.

Gandjar, Ibnu G. dan Abdul Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka        Pelajar, Yogyakarta. (Hal. 1 dan 10)

Missler,G.L dan Tarr,D.A 1991. Inorganic Chemistry,Prentik.Hal inc . London.

Depkes RI, 1979, Farmakope Indonesia edisi III, Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

patologi anatom bagian dalam lengkap

Tag

DAFTAR ISI

 

 

HALAMAN SAMPUL……………………………………………………………………………….1

KATA PENGANTAR……………………………………………..……………..2

DAFTAR ISI……………………………………………….…………….………3

 

BAB 1 SISTEM OSTEOLOGI……………………………………………………………………..4

BAB 2 SITEM ARTIKULASI…………………………………………………………………….21

BAB 3 SISTEM NERVOSUM, SUSUNAN SARAF PUSAT DAN TEPI……….36

BAB 4 SISTEM PENDENGARAN…………………………………………………………….49

BAB 5 SITEM PENGELIHATAN………………………………………………………………52

BAB 6 SISTEM PENCERNAAN DAN PENAPASAN…………………………………55

BAB 7 SISTEM HORMONAL…………………………………………………………………..67

BAB 8 SISTEM SIRKULASI LIMFATIK…………………………………………………..71

BAB 9 SISTEM MEOLOGI (OTOT)…………………………………………………………..79

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………81


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis telah panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Ptologi Anatomi Sistem Dalam Tubuh” yang sederhana ini dapat terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.

Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata kuliah PATOLOGI ANATOMI serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.

Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi S1 keperawatan STIK AVICENNA Angkatan 2013.

Amien ya Rabbal ‘alamin.

Wassalalam,

 

Kendari , Januari 2015

Penyusun


BAB 1

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM OSTEOLOGI

 

  1. PENDAHULUAN

Sistem muskuloskeletal manusia merupakan jalinan berbagai jaringan, baik itu jaringan pengikat, tulang maupun otot yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Fungsi utama sistem ini adalah sebagai penyusun bentuk tubuh dan alat untuk bergerak. Oleh karena itu, jika terdapat kelainan pada sistem ini maka kedua fungsi tersebut juga akan terganggu. Infeksi muskuloskeletal merupakan penyakit yang umum terjadi; dapat melibatkan seluruh struktur dari sistem muskuloskeletal dan dapat berkembang menjadi penyakit yang berbahaya bahkan membahayakan jiwa. Osteomielitis adalah infeksi tulang dan sumsum tulang.

Osteomielitis akut terutama ditemukan pada anak-anak. Tulang yang sering terkena ialah femur bagian distal, tibia bagian proksimal, humerus, radius dan ulna bagian proksimal dan distal, serta vertebra. Osteomielitis merupakan suatu bentuk proses inflamasi pada tulang dan struktur-struktur disekitarnya akibat infeksi dari kuman-kuman piogenik. Staphylococcus adalah organisme yang bertanggung jawab untuk 90% kasus osteomyelitis akut. Organisme lainnya termasuk Haemophilus influenzae dan salmonella.

Pada masa anak-anak penyebab osteomyelitis yang sering terjadi ialah Streptococcus, sedangkan pada orang dewasa ialah Staphylococcus.

Diagnosis infeksi tulang dan sendi biasanya dapat dibuat dari tanda-tanda yang tampak pada pemeriksaan fisik. Pada lokasi perifer seperti efusi sendi dan dan nyeri pada metafisis yang terlokalisir, dengan atau tanpa pembengkakan, membuat diagnosis relatif mudah. Namun pada panggul, pinggul, tulang belakang, tulang belikat dan bahu, penegakan diagnosis terjadinya infeksi sulit untuk ditentukan. Sehingga, pemeriksaan penunjang, dalam hal ini, pencitraan dapat memudahkan dan menegakkan diagnosis dari osteomielitis. Pemeriksaan pencitraan radiaografi yang dapat dilakukan ialah foto polos, Computed Tomography (CT) scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan radionuklir. Pemeriksaan tersebut dapat memudahkan dokter dalam menegakkan diagnosis osteomielitis.

  1. KAJIAN TEORI MENGENAI OSTEOMILITIS

2.1. Definisi

Osteomielitis (osteo-berasal dari kata Yunani yaitu osteon, berarti tulang, myelo artinya sumsum, dan-itis berarti peradangan) secara sederhana berarti infeksi tulang atau sumsum tulang.

Berdasarkan kamus kedokteran Dorland, osteomielitis ialah radang tulang yang disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun berbagai agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sum-sum, korteks, dan periosteum.

2.2 Patogenesis Infeksi dapat terjadi secara :

  1. Hematogen, dari fokus yang jauh seperti kulit, tenggorok.
  2. Kontaminasi dari luar yaitu fraktur terbuka dan tindakan operasi pada tulang
  3. Perluasan infeksi jaringan ke tulang di dekatnya.

Mikroorganisme memasuki tulang bisa dengan cara penyebarluasan secara hematogen, bisa secara penyebaran dari fokus yang berdekatan dengan infeksi, atau karena luka penetrasi. Trauma, iskemia, dan benda asing meningkatkan kerentanan tulang akan terjadinya invasi mikroba pada lokasi yang terbuka (terekspos) yang dapat mengikat bakteri dan menghambat pertahanan host. Fagosit mencoba untuk menangani infeksi dan, dalam prosesnya, enzim dilepaskan sehingga melisiskan tulang.

Bakteri melarikan diri dari pertahanan host dengan menempel kuat pada tulang yang rusak, dengan memasuki dan bertahan dalam osteoblast, dan dengan melapisi tubuh dan lapisan yang mendasari tubuh mereka sendiri dengan pelindung biofilm yang kaya polisakarida.

Nanah menyebar ke dalam saluran pembuluh darah, meningkatkan tekanan intraosseous dan mempengaruhi aliran darah. Disebabkan infeksi yang tidak diobati sehingga menjadi kronis, nekrosis iskemik tulang menghasilkan pemisahan fragmen devaskularisasi yang besar (sequester). Ketika nanah menembus korteks, subperiosteal atau membentuk abses pada jaringan lunak, dan peningkatan periosteum akan menumpuk tulang baru (involucrum) sekitar sequester.

Mikroorganisme, infiltrasi neutrofil, dan kongesti atau tersumbatnya pembuluh darah merupakan temuan histologis utama osteomielitis akut. Fitur yang membedakan dari osteomielitis kronis, yaitu tulang yang nekrosis, dicirikan oleh tidak adanya osteosit yang hidup. Terdapat sel mononuklear yang dominan pada infeksi kronis, dan granulasi dan jaringan fibrosa menggantikan tulang yang telah diserap kembali oleh osteoklas. Pada tahap kronis, organisme mungkin terlalu sedikit untuk dilihat pada pewarnaan.

2.3 Klasifikasi Osteomielitis

Osteomielitis secara umum dapat dibagi menjadi jenis piogenik dan nonpiogenik. Namun terdapat jenis pengklasifikasian lainnya, seperti berdasarkan perjalanan klinis, yaitu osteomielitis sub akut, akut, atau kronis (aktif dan tidak aktif), yang tergantung intensitas dari proses infeksi dan gejala yang terkait. Dari sudut pandang patologi anatomi, osteomielitis dapat dibagi menjadi osteomielitis bentuk diffuse dan lokal (focal), dengan yang kedua disebut sebagai abses tulang.

2.3.1 Osteomielitis Akut

Biasanya osteomielitis akut disertai dengan gejala septikemia, seperti febris, malaise dan anoreksia. Infeksi dapat pecah ke subperiosteum, kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi selulitis, atau menjalar melalui rongga subperiosteum ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah ke bagian tulang diafisis melalui kanalis medularis. Penjalaran subperiosteal ke arah diafisis akan merusak pembuluh darah yang ke diafisis sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang disebut sekuester. Periosteum akan membentuk tulang baru yang menyelubungi tulang mati tersebut. Tulang baru yang menyelimuti tulang mati tersebut dinamakan involukrum.

Perubahan jaringan lunak dapat terjadi secara nyata, terutama pada bayi. Pembengkakan, dengan edema dan timbunan lemak yang kabur dapat terlihat. Osteoporosis dapat dilihat antara hari kesepuluh sampai empat belas dari onset timbulnya penyakit. Pada anak-anak seringkali terjadi pada metafisis.

Involucrum dapat terlihat setelah tiga minggu dan terjadi lebih banyak pada bayi dan anak-anak daripada orang dewasa. Tempat keluarnya dan dekompresi pus yang terjadi dapat mencegah kompresi vaskuler dan terjadinya infark, dan penyembuhan.

CT yang konvensional tidak dapat mendeteksi sekuester. Sekuester terlihat sebagai fragmen-fragmen dari tulang padat diantara proses destruksi tulang lokal. Pengobatan dengan antibiotik dan/atau pembedahan, memberi pengaruh pada perjalanan penyakitnya dengan pembentukan tulang baru yang dapat ditemukan.

Dengan terapi yang adekuat pada bayi dan anak-anak, harapan untuk kembali normal besar kecuali terjadi kerusakan pada lempeng epifisis dan epifisis, sehingga pertumbuhan tulang yang abnormal dapat terjadi. Pada orang dewasa, pengaruhnya tulang sering menyisakan daerah sklerotik dan bentuk yang ireguler. Gambaran radiografi tidak pernah bias kembali normal pada kasus yang terlambat diketahui.

2.3.2 Osteomielitis Kronis

Dengan pengobatan yang benar, <5%>(3) Panjangnya gejala klinis, periode diam (quiescence) yang panjang, dan eksaserbasi berulang merupakan ciri khas dari osteomielitis kronis. Saluran sinus antara tulang dan kulit dapat menghasilkan material yang purulent dan kadang-kadang membuat potongan-potongan tulang yang nekrotik. Peningkatan produksi material yang purulent, nyeri, atau bengkak sebagai tanda suatu eksaserbasi, disertai dengan peningkatan kadar C reactive protein (CRP) dan ESR. Demam jarang terjadi kecuali bila obstruksi dari saluran sinus menyebabkan infeksi jaringan lunak. Komplikasi akhir yang jarang ialah fraktur patologis, karsinoma sel skuamosa pada saluran sinus, dan amiloidosis.

2.4 Pencitraan

2.4.1 Gambaran Foto Polos Radiologis

Pada osteomielitis gambaran foto polos radiologi yang dapat ditemukan adalah hilangnya gambaran fasia, gambaran litik pada tulang (radiolusen), sequester dan involucrum. Namun gambaran-gambaran tersebut terhantung dari perjalanan penyakitnya. Tanda-tanda awal gambaran radiografi dari infeksi tulang ialah edema jaringan lunak dan hilangnya bidang fasia. Ini biasanya ditemui dalam waktu 24 hingga 48 jam dari onset infeksi. Perubahan paling awal pada tulang adalah bukti adanya lesi litik destruktif, biasanya dalam waktu 7 sampai 10 hari setelah terjadinya infeksi

Osteomielitis akut. Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun menderita demam dan lutut yang menyakitkan selama 1 minggu. Gambaran radiografi anteroposterior lutut kiri menunjukkan gambaran tanda-tanda radiografi awal dari infeksi tulang: daerah osteolytic menunjukan adanya kerusakan pada segmen metafisis dari femur distal (panah) dan pembengkakan jaringan lunak (panah terbuka).

Dalam waktu 2 sampai 6 minggu, ada kerusakan progresif dari tulang kortikal dan medula, peningkatan sklerosis endosteal menunjukkan pembentukan tulang reaktif baru, dan reaksi periosteal.

Dalam 6 sampai 8 minggu, adanya sequester menunjukkan daerah tulang nekrotik yang menjadi jelas, mereka dikelilingi oleh involucrum padat, menggantikan sarung tulang baru periosteal Sequester dan involucrum berkembang sebagai hasil dari akumulasi eksudat inflamasi (nanah), yang menembus korteks dan menggundulinya dari periosteum, sehingga merangsang lapisan dalam untuk membentuk tulang baru. Tulang baru yang dibentuk pada gilirannya akan terinfeksi juga, dan barrier yang dihasilkan infeksi tersebut menyebabkan korteks dan spongiosa menjadi kehilangan pasokan darah dan menjadi nekrosis. Pada tahap ini, disebut osteomielitis kronis, sebuah saluran sinus sering bentuk Sequester yang kecil secara bertahap akan diserap kembali, atau mungkin diekstrusi (extruded) melalui saluran sinus.

Osteomielitis akut gambaran anteroposterior. Gambaran radiografi dari lutut anak laki-laki berusia 8 tahun dengan osteomielitis akut yang menunjukkan kerusakan yang luas dari bagian kortikal dan medula dari metafisis dan diafisis dari femur distal, bersama-sama dengan pembentukan tulang periosteal yang baru. Perhatikan terjadinya fraktur patologis.

Osteomielitis akut gambaran lateral. Gambaran radiografi lateral dari lutut anak laki-laki berusia 8 tahun dengan osteomielitis akut yang menunjukkan kerusakan yang luas dari bagian kortikal dan medula dari metafisis dan diafisis dari femur distal, bersama-sama dengan pembentukan tulang periosteal yang baru. Perhatikan adanya abses subperiosteal besar yang jelas

Osteomielitis aktif. Sequester dikelilingi oleh involucrum, seperti terlihat di sini, pada kaki kiri anak berusia 2 tahun, adalah suatu keadaan dari osteomielitis lanjut, biasanya terlihat setelah 6 sampai 8 minggu infeksi aktif.

Osteomielitis kronis. Seorang pria 28 tahun dengan penyakit sickle cell anemia yang memiliki osteomielitis, salah satu komplikasi yang sering pada penyakit sickle cell anemia. Hasil dari sinogram yang menunjukkan saluran sinus yang khas pada osteomielitis kronis. Perhatikan saluran yang berkelok-kelok pada bagian medula tulang.

2.4.2 CT (Computed Tomography)

Scan Deteksi osteomielitis ketika masih dalam tahap akut dini sangat penting untuk meningkatkan probabilitas kesembuhan dan menurunkan morbiditas. Disebabkan kurang sensitif dibandingkan MRI untuk osteomielitis akut, CT merupakan pemeriksaan terbaik untuk membimbing aspirasi atau biopsi (Gambar 2.6), jika secara klinis diperlukan, untuk memastikan osteomielitis atau untuk dilakukannya uji kultur dan sensitivitas antibiotik organisme. CT juga berguna dalam pemeriksaan penunjang terhadap infeksi pasca operasi saat instrumen ortopedi yang luas dapat menghambat MRI.

Gambaran CT dari osteomielitis tergantung stage-nya, yaitu akut, subakut atau kronis. Pada osteomielitis akut, edema sumsum tulang adalah kelainan yang ditemukan pertama kali pada pencitraan. Selanjutnya, peningkatan periosteal dapat terjadi, yang kasusnya lebih sering pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, dengan bagian akhir yaitu pembentukan tulang subperiosteal yang baru. Abses subperiosteal juga dapat terjadi.

Unenhanced CT (CT scan yang tidak ditingkatkan) kurang sensitif dibandingkan MRI dalam mendeteksi awal peradangan periosteal dari osteomielitis yang terjadi pada model hewan percobaan.

Biopsi yang dipandu CT scan dari osteomielitis. Gambaran aksial panggul lebih rendah pada pasien dengan posisi tengkurap. Biopsi jarum tulang ukuran 11 telah masuk ke bagian vertikal yang sklerotik dari ischium kanan untuk memastikan osteomielitis dan memberikan sampel untuk dilakukannya kultur. B A

Non union (tidak menyatunya) tulang akibat infeksi. A dan B: Gambar axial CT yang menunjukkan fraktur serta kalus nonbridging (tidak melekat) yang tidak efektif dan gambaran lusen intramedulla sekitar paku retrograde (retrograde

Dengan melakukan variasi transparansi dari tulang, posisi perangkat keras (tanda panah) menjadi lebih nyata. F: Sudut pandang anterior menunjukkan temuan yang sama dengan derajat yang berbeda dari kepadatan tulang.

Sudut pandang anterior menunjukkan temuan yang sama dengan derajat yang berbeda dari kepadatan tulang, tanda panah menunjukan perangkat keras ortopedi (screw).

Osteomielitis subakut lebih terlokalisasi. Contohnya adalah abses Brodie (Brodie’s abscess), merupakan abses piogenik yang dikelilingi oleh daerah sklerosis dan meningkatnya jaringan granulasi. Osteomielitis kronis ditandai dengan tulang yang nekrotik. Fragmen dari fokus tulang yang nekrotik atau sequestrum dikelilingi oleh jaringan granulasi atau oleh involucrum dari pembentukan periosteal tulang yang tebal dan baru. CT menunjukkan gambaran sequestrum sebagai fragmen terisolasi yang dipisahkan dari tulang kortikal, yang bebas di dalam rongga medula atau saluran sinus. Gambaran CT dari osteomielitis kronis biasanya akan memperlihatkan sklerosis yang signifikan, kelainan tulang dan resorpsi dengan bekas luka jaringan lunak sekitar atau jaringan granulasi (

Osteomielitis kronis. A: CT awal seorang pasien dengan paraplegia yang menunjukkan sebuah ulkus jaringan lunak yang dalam yang utuh (intake), muncul di ramus pubis inferior kanan

CT setelah 10 bulan kemudian. Sekali lagi menunjukkan ulkus jaringan lunak, dengan perkembangan terjadinya fragmentasi secara interval, sklerosis dan resorpsi sebagian dari ramus pubis inferior kanan.

Perubahan sumsum tulang pada osteomielitis tidak spesifik, karena dapat terlihat juga pada neoplasma, trauma, beberapa anemia, dan gangguan sumsum tulang primer lainnya seperti myelofibrosis. Perbandingan dengan sisi kontralateralnya dapat membantu untuk melihat apakah proses pada sumsum tersebut adalah sistemik atau hanya unilateral saja. Gas dalam saluran medula secara konsisten terjadi pada osteomielitis, tetapi jarang. Hal ini dapat dilihat pada temuan radiografi sebelum kehancuran atau pembentukan tulang baru. Gas pada jaringan lunak yang bukan disebabkan trauma adalah ciri dari infeksi

Perubahan diabetes neuropatik sering dibedakan dari osteomielitis dan arthritis septik oleh CT. Dalam menilai osteomielitis pada diabetic foot, MRI dengan sinyal normal pada sumsum tulang memiliki nilai prediksi negatif yang lebih tinggi daripada CT normal. MR juga lebih sensitif untuk abses kecil dan untuk jaringan lunak yang nonviable, terutama jika gadolinium diberikan. MR kadang-kadang dapat membedakan antara kronis, neuropatik osteoarthropathy yang stabil dan osteomielitis, ketika CT tidak bisa.

2.4.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI menunjukan osteomielitis seawal seperti pemeriksaan scan radioisotope, dan jika ada, merupakan pilihan utama dalam mendiagnosis infeksi musculoskeletal. Dengan menggunakan weightings, atau penguatan paramagnetic, perubahan yang terjadi pada tulang dan edema jaringan lunak dapat diketahui sejak awal, seperti terjadinya iskemia dan kerusakan dari kortex. Perluasan jaringan lunak dari pus dan abses paraosseus dapat terlihat. Nekrosis sentral dalam abses dapat diketahui. Gambaran dapat didapat dari berbagai sudut

Gambaran coronal CT scan dari osteomielitis kronis menunjukkan penebalan korteks humerus proksimal (panah).

Weighting yang sering digunakan ialah T1, T2, dan fat supresseion. Sumsum tulang tampak jelas pada sinyal T1, sedangkan korteks yang padat, yang memiliki cairan yang sedikit, memiliki sinyal yang lebih rendah.edema dan perubahan inflamasi meningkatkan sinyal secara dramatis pada T2-weightening dan khususnya short tau inversion recovery (STIR) sequences.

Jaringan yang keras secara umum lebih baik ditunjukan oleh CT namun perubahan jaringan lunak lebih baik terlihat menggunakan MRI. Ketika terjadi perubahan kepadatan pada infeksi sumsum tulang, hal tersebut dapat diperiksa menggunakan CT, namun MRI lebih baik dalam menunjukkan perluasan patologis tulang dan jaringan lunak sekitarnya dan sangat sensitive seperti pemeriksaan scan radioisotop. Kelebihan terakhir yaitu MRI dapat menunjukkan focus infeksi diluar dari yang diperkirakan.

Gambaran coronal MRI T1, menampilkan osteomielitis kronis humerus proksimal (panah).

2.4.4 Scaning Menggunakan Radionuclide Scintigraphy skeletal

Pada orang yang diduga memiliki infeksi tulang harus didahului oleh pemeriksaan foto polos. Pada pemeriksaan terhadap foto polos tidak dapat terlihat sampai 10-14 hari infeksi, namun pada infeksi TBC perubahan dapat muncul pada presentasi pertama. Menggunakan scintigraphy, diagnosis dapat ditegakan pada 48 jam setelah onset penyakit, bahkan jika tanda-tanda klinis penyakit samar-samar. Pengobatan awal yang agresif dapat mencegah kerusakan tulang yang berat.

Teknik standar menggunakan technetium 99m-labelled phosphate dan phosphate. Tambahan dari radionuclide pada tulang berhubungan dengan aliran darah pergantin tulang yang local. Hal ini membuat gambaran dua jenis yang terpisah yang didapatkan pada osteomielitis, yaitu:

  1. Gambaran “kelompok darah” dari daerah yang nyeri segera setelah penyuntikan. Hal ini menunjukkan peningkatan radioaktif local, jika positif, pada daerah yang mengandung banyak darah.
  2. Gambaran scintigraphy skeletal tertunda setelah 3-4 jam. Saat ini radionuclide telah diabsorbsi menjadi kristal-kristal tulang. Hal ini memberikan gambaran skeletal dengan penekanan lokal pada daerah peningkatan aliran darah dan pergantian tulang. Hal ini juga yang membedakan antara osteomielitis dan selulitis.

Osteomielitis, kronis. Tiga fase dari technetium-99m diphosphonate bone scan pada pasien yang sama seperti menunjukkan peningkatan aktivitas pada tulang metatarsal ketiga dan keempat dan di kaki ketiga. Dengan menggunakan teknik ini dapat dikatakan bahwa selain lebih sensitif dalam mendeteksi adanya fokal infeksi, juga pemeriksaan ini hampir akurat memberikan hasil positif atau negatif. Namun tidak spesifik karena tumor dan infeksi memberikan gambaran yang hampir sama. Ambilan technetium terbatas jika pembuluh darah tersumbat karena proses infeksi oleh tamponade atau thrombus, meskipun , pada neonatus, sampai 30% scan dapat negatif disebabkan hal tersebut.

  • Bentuk Osteomielitis Lainnya

Abses Brodie Lesi ini, awalnya dijelaskan oleh Brodie pada tahun 1832, merupakan suatu osteomielitis lokal bentuk subakut, umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%) adalah pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki. Onsetnya sering diam-diam (tidak diketahui), dan manifestasi sistemik umumnya ringan atau tidak ada. Abses, yang biasanya terjadi pada metafisis tibia atau femur, bentuknya biasanya memanjang, dengan marjin baik dibatasi maupun dikelilingi oleh daerah sklerosis yang reaktif.

Seringnya, tidak ada sequester , namun saluran yang radiolusen dapat dilihat membentang dari lesi menuju ke lempeng pertumbuhan

Suatu abses tulang dapat melewati lempeng epifisis, tetapi jarang berkembang, menetap, terlokalisasi dan kavitas dapat secara bertahap terisi jaringan granulasi di epifisis. Gambaran antero-posterior dari lutut kaki kiri anak 11 tahun dengan abses Brodie sub akut pada proksimal diafisis dan metafisis dari tibia yang ditunjukkan oleh gambaran radioluscen yang meluas sampai lempeng pertumbuhan.

Osteomielitis Sklerosing Garre Pada kelainan ini yang menonjol adalah sklerosis tulang dengan tanda-tanda destruksi yang tidak nyata. Jenis ini jarang ditemukan.

Bersifat kronis, dan biasanya hanya 1 tulang yang terkena dengan pelebaran tulang yang bersifat fusiform. Diagnosis diferensial yang penting adalah osteoid osteoma.

Osteomielitis kronis tampak lateral. Foto radiografi polos yang menunjukkan osteomielitis sklerosing Garre.

Osteomielitis kronis tampak anteroposterior. Foto radiografi polos yang menunjukkan osteomielitis sklerosing Garre.

  • Osteomielitis Pada Neonatus Dan Bayi

Osteomielitis pada neonatus dan bayi seringkali hanya dengan gejala klinis yang ringan, dapat mengenai satu atau banyak tulang dan mudah meluas ke sendi di dekatnya. Biasanya lebih sering terjadi pada bayi dengan ‘risiko tinggi’ seperti prematur, berat badan kurang. Tindakan-tindakan seperti resusitasi, venaseksi, kateterisasi, dan infus, secara po-tensial dapat merupakan penyebab infeksi. Kuman penyebab paling sering adalah streptococcus

Osteomielitis dan artritis septik pada bayi biasanya disertai destruksi yang luas dari tulang, tulang rawan, dan jaringan lunak sekitarnya. Pada neonatus ada hubungan antara pembuluh darah epifisis dengan pernbuluh darah metafisis, yang disebut pembuluh darah transfiseal, hubungan ini menyebabkan mudahnya infeksi meluas dari metafisis ke epifisis dan sendi. Kadang-kadang osteomielitis pada bayi juga dapat mengenai tulang lain seperti maksila, vertebra, tengkorak, iga, dan pelvis.

Tanda paling dini yang dapat ditemukan pada foto roentgen ialah pembengkakan jaringan lunak dekat tulang yang terlihat kira kira 3 hari setelah infeksi. Demineralisasi tulang terlihat kira-kira 7 hari setelah infeksi dan disebabkan hiperemia dan destruksi trabekula. Destruksi korteks dan sebagai akibatnya pembentukan tulang subperiosteal terlihat pada kira-kira 2 minggu setelah infeksi,

Osteomielitis pada bayi. Tampak destruksi tulang yang luas pada humerus kanan dengan pembentukan tulang subperiosteal. Fraktur patologis di daerah kolum humeri dengan pembengkakan jaringan lunak di sekitar sendi

  • Osteomielitis pada tulang lain

Tengkorak Biasanya osteomielitis pada tulang tengkorak terjadi sebagai akibat perluasan infeksi di kulit kepala atau sinusitis frontalis. (10),(17) Proses destruksi bisa setempat atau difus. Reaksi periosteal biasanya tidak ada atau sedikit sekali.

Mandibula Biasanya terjadi akibat komplikasi fraktur, abses gigi, atau ekstraksi gigi. Namun, infeksi osteomielitis juga dapat menyebabkan fraktur pada mulut.

Infeksi terjadi melalui kanal pulpa merupakan yang paling sering dan diikuti hygiene oral yang buruk dan kerusakan gigi

Osteomielitis supuratif akut pada wanita berusia 44 tahun. CT scan menunjukkan sebuah lesi non ekspansi dan lesi osteolitik (tanda panah) pada mandibula kanan. Terdapat pula perubahan dari inflamasi jaringan lunak perimandibular (hanya kepala panah).

Pelvis Osteomielitis pada tulang pelvis paling sering terjadi pada bagian sayap tulang ilium dan dapat meluas ke sendi sakroiliaka. Sendi sakroiliaka jarang terjadi. Pada foto terlihat gambaran destruksi tulang yang luas, bentuk tak teratur, biasanya dengan sekwester yang multipel. Sering terlihat sklerosis pada tepi lesi. Secara klinis sering disertai abses dan fistula

Bedanya dengan tuberkulosis, ialah destruksi berlangsung lebih cepat, dan pada tuberkulosis abses sering mengalami kalsifikasi. Dalam diagnosis diferensial perlu dipikirkan kemungkinan keganasan. (10) Osteitis pubis merupakan infeksi bagian bawah yang sekitar simfisis pubis yang merupakan komplikasi dari operasi dari prostat dan kandung kemih atau , jarang akibat operasi pelvis lainnya.

Kaki Luka tusuk pada kaki sering terjadi pada anak-anak dan pada masyarakat yang berjalan kaki tanpa alas kaki. Infeksi jaringan lunak dapat mengarah kepada terjadinya osteomielitis, sering disertai dengan kerusakan sendi.

Osteomielitis secara radiografis diidentifikasi oleh adanya pembengkakan jaringan lunak, daerah radioluscen atau daerah destruktif dalam tulang itu sendiri, atau reaksi periosteal focal.

Osteomielitis pada kaki. Pasien diabetes, terjadi pembengkakan jaringan lunak yang signifikan dan kerusakan struktur tulang phalanx distal ibu jari.

Osteomielitis Pada Tulang Belakang Vertebra adalah tempat yang paling umum pada orang dewasa terjadi osteomielitis secara hematogen. Organisme mencapai badan vertebra yang memiliki perfusi yang baik melalui arteri tulang belakang dan menyebar dengan cepat dari ujung pelat ke ruang diskus dan kemudian ke badan vertebra. Sumber bakteremia termasuk dari saluran kemih (terutama di kalangan pria di atas usia 50), abses gigi, infeksi jaringan lunak, dan suntikan IV yang terkontaminasi, tapi sumber bakteremia tersebut tidak tampak pada lebih dari setengah pasien. Diabetes mellitus yang membutuhkan suntikan insulin, suatu prosedur invasif medis baru-baru ini, hemodialisa, dan penggunaan narkoba suntikan membawa peningkatan risiko infeksi tulang belakang. Banyak pasien memiliki riwayat penyakit sendi degeneratif yang melibatkan tulang belakang, dan beberapa melaporkan terjadinya trauma yang mendahului onset dari infeksi. Luka tembus dan prosedur bedah yang melibatkan tulang belakang dapat menyebabkan osteomielitis vertebral nonhematogeno atau infeksi lokal pada diskus vertebra.

Osteomielitis pada vertebrae jarang terjadi, hanya 10% dari seluruh infeksi tulang (Epstein, 1976), dan dapat muncul pada seluruh usia. Kuman penyebab terbanyak ialah Staphylococcus aureus dan Eschericia coli.

Pasien yang menderita penyakit ini sering memiliki riwayat infeksi kulit atau pelvis. Penyebaran infeksi biasanya menuju badan vertebra daripada bagian yang lainnya, dan pada bagian yang mengandung banyak darah. Badan vertebrae memiliki banyak pembuluh darah, khususnya di bawah end plate dimana terdapat sinusoid yang besar dengan aliran pelan sehingga berpotensi untuk terjadi infeksi. Osteomielitis spinal lebih banyak terjadi pada regio lumbalis daripada regio cervix dan sacrum.

Kelainan ini lebih sulit untuk didiagnosis. Gejala umumnya lebih ringan dibandingkan osteomielitis akut. Biasanya ada demam, rasa sakit pada tulang dan spasme otot.

Pada anak, anak akan mengeluh nyeri punggung dan pada pemeriksaan didapat spasme hebat otot erektor trunkus sehingga mirip gejala rangsangan meningeal, seperti nyeri pada elevasi kaki lurus atau fleksi leher dan anak tidak mau atau tidak mampu membungkuk.

Proses lebih sering mengenai korpus vertebra dan dapat timbul sebagai komplikasi infeksi saluran kencing dan operasi panggul.

Gambar radiografi polos dari discitis tulang belakang / osteomielitis. Tampak tulang belakang lumbal lateral yang menunjukkan penyempitan ruang diskus L3-4 (panah). Pada stadium awal tanda-tanda destruksi tulang yang menonjol, selanjutnya terjadi pembentukan tulang baru yang terlihat sebagai sklerosis. Lesi dapat bermula di bagian sentral atau tepi korpus vertebra.

  • Penatalaksanaan

Antibiotik harus diberikan hanya setelah didapatkan hasil kultur, Penggunaan obat bakterisida telah direkomendasikan, meskipun data yang menunjang masih kurang. Antibiotik harus diberikan pada dosis tinggi, dengan demikian, untuk sebagian besar obat, administrasi secara parenteral diperlukan. Terapi empiris dipandu oleh temuan pada pewarnaan Gram dari spesimen tulang atau abses atau antibiotik dipilih untuk menutupi kemungkinan besar patogen; terapi seperti biasanya biasanya harus mencakup obat dosis tinggi yang aktif terhadap S. Aureus (seperti oxacillin, nafcillin, cefazolin , atau vankomisin) atau-jika organisme gram-negatif yang mungkin terlibat maka dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, atau sebuah fluorokuinolon. Terapi empiris juga harus meliputi obat yang aktif terhadap bakteri anaerob dalam penentuan suatu ulkus dekubitus atau infeksi kaki diabetes.

Outpatient parenteral antimicrobial therapy (OPAT) atau terapi antimikroba parenteral rawat jalan yang sesuai untuk pasien dapat membuat pasien termotivasi dan stabil, dan hal ini merupakan kemajuan penting dalam manajemen pengobatan osteomielitis. Antibiotik yang memerlukan dosis yang jarang, seperti ceftriaxone, ertapenem, daptomycin, dan vankomisin, dapat memfasilitasi terapi rumah, tapi pilihan antibiotik ini memiliki spektrum aktivitas yang terlalu luas.

Setelah pemberian terapi parenteral selama 5-10 hari dan setelah terjadi resolusi dari tanda-tanda infeksi aktif, antibiotik oral telah sukses digunakan pada anak-anak dengan osteomielitis hematogen. Dosis penisilin atau sefalosporin oral yang diperlukan untuk pengobatan osteomielitis pediatrik adalah dosis tinggi, dan orang dewasa mungkin tidak mentolerir dosis seperti juga pada anak-anak. Dengan pengecualian dari fluoroquinolon, rifampisin, dan linezolid, beberapa data mendukung penggunaan antibiotik oral untuk orang dewasa dengan osteomielitis. Untuk pengobatan infeksi karena Enterobacteriaceae, oral fluorokuinolon telah berhasil seperti pemberian antibiotik β-lactam secara IV. Perhatian harus dilakukan dalam penggunaan fluoroquinolones sebagai agen tunggal untuk pengobatan infeksi karena resistensi S. Aureus atau P. Aeruginosa dapat berkembang selama terapi.

Dapat dilakukan secara bedah melalui drainase dan mengeluarkan tulang mati (sequestrum) tetapi sering terjadi kekambuhan.

  • Diferensial

Diagnosis Biasanya, gambaran radiografi osteomyelitis sangat karakteristik dan diagnosis mudah dibuat sesuai dengan riwayat klinis, dan pemeriksaan radiologis tambahan seperti skintigrafi, CT, dan MRI jarang diperlukan. Namun demikian, osteomyelitis dapat juga meniru kondisi lainnya. Khususnya dalam bentuk akut, osteomielitis mungkin menyerupai histiocytosis sel Langerhans atau sarkoma Ewing.

Perubahan jaringan lunak pada masing-masing kondisi, bagaimanapun, adalah khas dan berbeda. Pada osteomyelitis, pembengkakan jaringan lunak adalah diffuse, dengan hilangnysa fasia, sedangkan histiocytosis sel Langerhans , tidak disertai oleh pembengkakan jaringan lunak yang signifikan atau massa. Perluasan dari sarkoma Ewing ke dalam jaringan lunak muncul sebagai massa jaringan lunak yang jelas dengan fasia tetap ada.

Durasi gejala pasien juga memainkan peranan penting diagnostik. Tumor seperti sarkoma Ewing membutuhkan waktu 4-6 bulan untuk menghancurkan tulang pada tingkat/keadaan yang sama dengan osteomyelitis yang membutuhkan waktu hanya dalam 4 sampai 6 minggu, dan histiocytosis sel Langerhans membutuhkan waktu hanya 7 sampai 10 hari saja. Meskipun keadaan yang berbeda ini, namun pola kerusakan tulang secara radiografi, reaksi periosteal, dan lokasi dalam tulang mungkin sangat mirip pada tiga kondisi ini

Osteomyelitis yang menyerupai sarcoma Ewing. Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun mengeluhkan rasa sakit di kaki kanannya selama 3 minggu. Radiograf anteroposterior menunjukkan lesi di bagian meduler dari diaphysis femoral distal dengan kerusakan tulang mouth eaten type, yang berhubungan dengan reaksi periosteal dan jaringan lunak yang menonjol kecil. Gambaran radiografi ini menyarankan diagnosis sarkoma Ewing, disebabkan tidak adanya massa jaringan lunak yang pasti dan periode gejala yang pendek. Namun, diagnosis osteomyelitis diketahui setelah dikonfirmasi dengan pemeriksaan biopsi

Sarcoma Ewing. Pria berusia 24 tahun mengeluhkan rasa sakit dan bengkak di pergelangan kaki kiri selama 8 minggu, ia juga demam. Radiografi anteroposterior pergelangan kaki menunjukkan lesi yang merusak bagian distal fibula, suatu massa jaringan lunak juga jelas. Penampilan dari gambaran ini adalah infeksi (osteomyelitis), tetapi diagnosis sarcoma Ewing ditegakkan setelah dikonfirmasi dengan hasil boipsi.

  1. KESIMPULAN

Osteomielitis adalah infeksi tulang atau sumsum tulang. Osteomielitis dapat meyerang orang pada semua usia. Pemeriksaan penunjang atau pencitraan yang dapat dilakukan adalah foto polos, CT scan, MRI, dan Radioisotop bone scan, yang memiliki keunggulan masing-masing. Pada pemeriksaan foto polos radiologi akan kita dapatkan hilangnya gambaran fasia, gambaran litik pada tulang (radiolusen), sequester dan involucrum. Pada CT scan pun akan didapatkan gambaran serupa, namun gambaran tampak lebih jelas, gambaran didapat dari segala arah dan CT scan adalah pemeriksaan terbaik untuk biopsy guiding. Jaringan yang keras secara umum lebih baik ditunjukan oleh CT scan.

Gambaran MRI lebih jelas menunjukkan perluasan patologis tulang dan jaringan lunak sekitarnya. Sedangkan pemeriksaan scan radioisotop sensitif untuk osteomielitis disebabkan sifat radioisotop pada bone scan akan memperlihatkan daerah kerusakan sel tulang atau gambaran kehitaman yang memusat pada daerah sel-sel yang rusak, namun tidak spesifik, karena kerusakan sel tidak hanya ditunjukan oleh osteomielitis saja.

Gambaran radiografi foto polos osteomyelitis sangat khas dan diagnosis dapat mudah dibuat disesuaikan dengan riwayat klinis, sehingga pemeriksaan radiologis tambahan lainnya seperti skintigrafi, CT, dan MRI jarang diperlukan.

BAB 2

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM ARTIKILASI

  1. PATOLOGI ANATOMI
  2. Osteoarthritis(OA)

1.1. Patofisiologi

Pada kondisi fisiologis, matriks ekstraselular memiliki waktu paro bertahun-tahun sehingga metabolismenya berjalan sangat lambat. Namun dengan adanya peningkatan beban mekanik (peningkatan berat badan), bertambahnya usia dan adanya cedera dapat mempercepat proses metabolismenya. Tulang rawan sendi akan terdegradasi menyebabkan keretakan matriks. Permukaan halus tulang rawan menjadi kasar dan menyebabkan iritasi. Jika tulang rawan menjadi kasar seluruhnya, maka tulang pangkal kedua tulang yang bertemu menjadi rusak dan gerakannya menyebabkan nyeri dan ngilu.

  • Patogenesis

Sampai saat ini masih belum jelas, karena banyak faktor- faktor penyebab atau faktor-faktor predisposisi yang mempengaruhinya. Perubahan-perubahan yang terjadi yaitu :

  1. Kerusakan tulang rawan sendi

Dalam keadaan normal matrix tulang rawan berisi lebih kurang 80% air, 3,6% proteoglikan, 15% kolagen dan sisanya mineral dan zat-zat organik lain serta kondrosit yang berfungsi membentuk kolagen dan proteoglikan. Kadar kolagen dan proteoglikan ini yang menentukan agar matrix tulang rawan berfungsi baik yaitu sebagai penahan beban dan peredam kejut.

Pada tahap awal kerusakan tulang rawan, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedangkan kadar kolagen masih normal. Hal ini terjadi karena proses destruksi melebihi proses produksinya sehingga permukaan tulang rawan menjadi lunak secara lokal. Juga kadar air menurun sehingga warna matrix menjadi kekuningan dan timbul retakan dan mulai terbentuk celah.

Tahap kedua, celah makin dalam tetapi belum sampai ke perbatasan daerah subkondral. Jumlah sel rawan mulai menurun, begitu juga kadar kolagen.

Tahap ketiga, celah makin dalam sampai ke daerah subkondral. Kista dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaannya menjadi tidak teratur.

Tahap keempat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan difagosit oleh sel-sel membran sinovia dan terjadilah reaksi radang. Sementara itu kondrosit mati, proteoglikan dan kolagen tidak diproduksi lagi.

  1. Pembentukan osteofit

Ada beberapa hipotesis mengenai pembentukan osteofit :

  • Akibat proliferasi (pengulangan siklus sel) pembuluh darah di tempat rawan sendi berdegenerasi.
  • Akibat kongesti (penghambatan) vena yang disebabkan perubahan sinusoid sumsum yang tertekan oleh kista subkondral.
  • Akibat rangsangan serpihan rawan sendi, maka akan timbul sinovitis sehingga tumbuh osteofit pada tepi sendi, pada perlekatan ligamen atau tendon dengan tulang.
  1. Rheumatoid Arthritis (RA)

2.1. Patofisiologi

Pada RA, reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot.

2.2. Patogenesis

Meskipun faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk inisiasi penyakit, kerentanan, dan akselerasi belum teridentifikasi, faktor-faktor ini memicu reaksi kekebalan yang mengarah ke peradangan sendi, kerusakan, dan kehancuran. Pada gilirannya, hal ini peradangan sendi, kerusakan, dan kehancuran menguatkan respon imun, menyebarkan proses penyakit dan menyebabkan kerusakan sendi lebih lanjut dan kehancuran. Respon imun terpadu yang kompleks dan menyebabkan sekresi sitokin, antibodi, RF, dan anti-Antibodi PKC. Perubahan histopatologis di RA sinovium terjadi, termasuk edema dengan infiltrasi sel T, sel B, dan makrofag. Pembentukan pannus, atau jaringan granulasi inflamasi yang mengikis tulang rawan menjadi berdekatan dan tulang, akhirnya mengarah pada kerusakan sendi. Respon kekebalan yang terlibat dalam patogenesis RA sekarang dapat ditargetkan oleh farmasi baru-cotherapy. Sebuah contoh adalah penggunaan agen biologis terhadap tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang muncul pada akhir 1990-an. Sebagai penelitian lebih lanjut menjelaskan peran sel kekebalan tubuh dan faktor (misalnya, TNF-α dan interleukin [IL-1 dan IL-6]) dalam patogenesis, kemajuan lanjut dalam pengobatan RA mungkin memerlukan interaksi beberapa inflamasi sel Antigen-presenting sel dan sel T berinteraksi dengan sel B dan sel plasma.

  1. GOUT (Uric Acid)

3.1. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa kurang dari 7 mg/dL dan pada wanita kurang dari 6 mg/dL. Dan apabila konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar dari 7,0 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Jika kristal asam urat mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang berulang-ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis. Gambaran kristal urat dalam cairan sinovial sendi yang asimtomatik menunjukkan bahwa faktor-faktor non-kristal mungkin berhubungan dengan reaksi inflamasi. Kristal monosodium urat yang ditemukan tersalut dengan immunoglobulin yang terutama berupa IgG. Dimana IgG akan meningkatkan fagositosis kristal dan dengan demikian dapat memperlihatkan aktifitas imunologik.

 

  • Patogenesis
  1. Tahap 1 (Tahap Gout Arthritis akut)

Pada tahap ini penderita akan mengalami serangan arthritis yang khas untuk pertama kalinya. Serangan artritis tersebut akan menghilang tanpa pengobatan dalam waktu sekitar 5-7 hari. Bila dilakukan pengobatan maka akan lebih cepat menghilang. Karena cepat menghilang maka penderita sering menduga kakinya hanya keseleo atau terkena infeksi, sehingga tidak menduga terkena penyakit gout arthritis dan tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada pemeriksaan kadang-kadang tidak ditemukan ciri-ciri penderita terserang penyakit gout arthritis. Ini karena serangan pertama berlangsung sangat singkat dan dapat sembuh dengan sendirinya (self-limiting), maka penderita sering berobat ke tukang urut dan pada saat penderita sembuh, penderita menyangka hal itu dikarenakan hasil urutan/pijatan. Namun jika dilihat dari teori, nyeri yang diakibatkan asam urat tidak boleh dipijat ataupun diurut, tanpa diobati atau diurut sekalipun serangan pertama kali ini akan hilang dengan sendirinya.

  1. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)

Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu tertentu. Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu 1-10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita serangan gout Arthritis akut. Atau menyangka serangan pertama kali yang dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit Gout Arthritis.

  1. Tahap 3 (Tahap Gout Arthritis Akut Intermitten)

Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala, maka penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan serangan arthritis yang khas seperti diatas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak.

  1. Tahap 4 (tahap Gout Arthritis Kronik Tofaceous)

Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya. Bila ukuran thopi semakin besar dan banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi.

  1. Post Traumatic Arthritis

4.1. Patofisiologi dan Patogenesis

Hal ini sering terbentuk sebagai akibat dari dislokasi, patah tulang atau cedera ligamen di kaki yang merusak sendi. Patofisiologi dan Patogenesis yang sama dengan Osteoarthritis hanya pada PTA, umumnya diakibatkan adanya trauma, contohnya trauma pada saat olahraga, kecelakaan, jatuh atau cedera fisik lainnya.

  1. Osteonecrosis (Necrosis Avascular)

5.1. Patofisiologi

Kepala tulang paha mendapatkan aliran darahnya dari hanya satu pembuluh darah. Bila pembuluh ini tersumbat atau dihalangi, aliran darah ini ditutup dengan akibat osteonekrosis. Hal serupa dapat berpengaruh pada bahu dan lutut. Pada beberapa kasus, lemak mEnyumbat pembuluh darah dalam tulang. Infeksi HIV dapat menyebabkan masalah dengan metabolisme lemak. Tingkat lemak yang tinggi dalam darah dapat menyumbang pada gumpalan darah. Lebih banyak radang dapat meningkatkan pembekuan darah dan juga meningkatkan risiko gumpalan darah.

5.2. Patogenesis

Dengan penyumbatan aliran darah pada pembuluh darah di tulang, menyebabkan kurangnya bahkan tidak ada aliran darah (gangguan sirkulasi darah) dalam tulang selanjutnya, daerah yang berdekatan menjadi hyperemic (meningkatnya volume darah), mengakibatkan demineralisasi, dalam trabekular (jaringan) menipis, dan kemudian hancur/mati. Dengan matinya sel pada satu bagian tersebut jaringan seluruhnya yang tidak tersirkulasi darah juga akan mati.

  1. Osteochondritis dissecans

6.1. Patofisiologi

Tersumbatnya aliran darah menyebabkan tulang subchondral untuk mati dalam proses yang disebut avascular nekrosis. Tulang tersebut kemudian diserap kembali oleh tubuh, meninggalkan tulang rawan artikular sehingga menjadi rentan terhadap kerusakan. Hasilnya adalah fragmentasi (diseksi) dari kedua tulang rawan dan tulang, dan gerakan bebas dari fragmen osteokondral ini dalam ruang sendi, menyebabkan rasa sakit ,kaku pada sendi menjadi tidak seimbang serta menyebabkan kerusakan lebih lanjut.

6.2. Patogenesis

Osteochondritis dissecans adalah hasil dari sirkulasi aliran darah yang terhambat ke sebagian dari tulang talus. dengan bertambahnya waktu yang lama, kalus yang sedikit demi sedikit hilang/ habis akibat proses penyerapan oleh tubuh (efek sirkulasi darah) lama kelamaan akan menyebabkan osteoarthritis.

  1. SPONDILITIS ANKILOSA

Penyakit ini bersifat kronis dan progresif yang menyerang pada sendi sakroiliakal dan sendi panggul serta sendi-sendi synovial pada spiral. Intikuman biasanya merusak spingiosakorpus vertebra. Bagian-bagian intervertebra menjadi meradang dan akhirnya terjadi fusi atau kekakuan atau persatuan tulang pada sendi sakroiliakal dan spinal-spinal lain melalui servikal.

Proses fusi ini terjadi setelah 10 – 20 tahun. Penyakit ini dapat timbul pada usia 10 – 30 tahun dan biasanya menjadi progresif setelah 50 tahun dan lebih pada laki-laki. Spondiliti sankilosis menyerang tulang rawan dan fibrokartilago sendi pada tulang belakang dan ligamen-ligamen para vertebral. Apabila diskus vertebralis juga terinvasi oleh jaringan vascular dan fibrosa maka akan timbul kalsifikasi sendi- sendi dan struktur artikular .Kalsifikasi yang terjadi pada jaringan lunak akan menjembatani satu tulang vertebra dengan vertebra lainnya.Jaringan synovial disekitar sendi yang terserang akan meradang.

Proses patofisiologi yang terjadi pada spondilitis ankilosa ditandai dengan adanya inflamasi dan, terjadinya fusi.

  1. KLASIFIKASI, ETIOLOGI, EPIDEMIOLOGI DAN GEJALA KLINIS PENYAKIT METABOLIK SENDI
  2. Osteoarthritis

1.1  Definisi

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena osteoarthritis. Osteoarthritis dapat dibagi menjadi :

  1. Osteoarthritis primer

Osteoarthritis primer dapat disebut sebagai osteoarthritis idiopatik, OA ini tidak memiliki penyebab yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit maupun perubahan local pada sendi.

  1. Osteoarthritis sekunder

Osteoarthritis sekunder disebabkan oleh inflamasi, kelainan system endokrin, metabolic, factor keturunan, serta imobilisasi yang terlalu lama.

1.2  Epidemiologi

Prevalensi keseluruhan 12 – 15 % pada paling sedikit satu sendi. Lebih banyak pada kelompok usia > 65 tahun. Terdapat peningkatan yang seiring dengan bertambahnya usia, contohnya adalah lebih dari 80% pasien berusia >75% tahun memiliki bukti radiologis adanya OA. Kecenderungan wanita sedikit lebih tinggi secara keseluruhan.

1.3  Etiologi

Penyebab osteoarthritis belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu digunakan factor resiko, antara lain :

  1. Prevalensi dan beratnya osteoarthritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur
  2. Frekuensi OA dibawah 45 tahun kurang lebih sama pada wanita maupun laki – laki, tetapi di atas 50 tahun ( setelah meopouse ) frekuensi OA lebih banyak pada wanita
  3. Berat badan yang berlebih berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pria.
  4. Pekerjaan berat maupun pemakaian satu sendi yang terus menerus berkaitan dengan peningkatan risiko OA
  5. Osteoarthritis cenderung untuk menurun dalam keluarga

1.4  Gejala klinis

Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhan – keluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan – lahan.

  1. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.

  1. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan – pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri

  1. Kaku pagi

Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.

  1. Krepitasi

Rasa gemeretak ( kadang – kadang dapat terdengar ) pada sendi yang sakit

  1. Pembesaran sendi ( deformitas )

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (seringkali terlihat di lutut atau tangan ) secara pelan – pelan membesar.

  1. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejalan yang menyusahkan pasien. Hamper semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut, atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua.

  1. Post traumatic arthritis

2.1  definisi

post traumatic arthritis adalah arthritis yang disebabkan karena adanya cedera atau trauma.

2.2  etiologi

post traumatic arthritis disebabkan oleh pemakaian dari sendi yang memiliki jenis cedera fisik. Cedera bisa dari olahraga, kecelakaan kendaraan, jatuh, cedera militer, atau sumber lain trauma fisik. Cedera tersebut dapat merusak tulang rawan dan/atau tulang, mengubah mekanika sendi dan membuat aus lebih cepat.

2.3  gejala klinis

Gejala arthritis pasca-traumatic (Post traumatic arthritis) termasuk nyeri sendi, pembengkakan, akumulasi cairan dalam sendi, dan penurunan toleransi untuk berjalan-jalan, olahraga, dan kegiatan lainnya yang stres sendi.

  1. osteonecrosis

3.1  definisi

osteonecrosis merupakan kematian jaringan tulang karena kegagalan suplai darah.

3.2  etiologi

penyebab osteonecrosis antara lain akibat pengobatan (glukokortikoid), keadaan fisiologik atau patologik tertentu (kehamilan, tromboemboli) atau tidak diketahui (idiopatik)

3.3  gejala klinis

gejala utama osteonecrosis adalah nyeri tulang pada area yang terserang. Keadaan ini harus dicurigai pada pasien yang menggunakan steroid dosis tinggi atau jangka panjang yang mengeluh nyeri tulang.

  1. osteochondritis dissecans

4.1  definisi

Osteokondritis Disekans adalah suatu kondisi di mana suatu bagian tulang rawan sendi lepas dari ujung tulang bersama dengan lapisan tipis tulang di bawahnya. Gangguan ini paling sering terjadi pada pria muda, terutama setelah cedera sendi.

4.2  etiologi

Osteokondritis Disekans disebabkan karena tekanan ringan yang berulang-ulang. Cedera ringan yang dialami berkali-kali seringkali tak disadari dan dapat merusak ujung tulang yang terkena.

4.3  gejala klinis

Tanda dan gejala Osteokondritis Disekans meliputi:

  1. Nyeri, gejala yang paling umum. Dapat dipicu oleh aktivitas fisik seperti; naik turun tangga, mendaki bukit atau permainan olahraga.
  2. Sendi mungkin terkunci dalam suatu posisi tertentu jika sebuah potongan yang lepas terselip di antara tulang selama terjadi gerakan.
  3. Terkadang sendi terasa melemah.
  4. Penyempitan rentang gerak. Pasien mungkin tidak dapat meluruskan kaki atau tangan sepenuhnya.
  5. Pembengkakan dan nyeri. Kulit di sekitar sendi dapat menjadi bengkak dan sakit.
  1. Artritis Reumatoid

3.1  Definisi

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh adanya inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Artritis Reumatoid terutama mengenai sendi – sendi kecil pada tangan dan kaki.

3.2  Epidemiologi

Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative konstan yaitu berkisar antara 0,5 – 1. Prevalensi di India dan di Negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki – laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur.

3.3  Etiologi

  1. Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Factor genetic berperan penting terhadap kejadian AR. Hubungan gen HLA-DRB1 telah diketahui dengan baik.
  2. Prevalensi AR lebih besar pada perempuan daripada laki – laki, sehingga diduga hormone sex berperan dalam perkembangan penyakit ini.
  3. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organism ini diduga menginfeksi host dan merubah respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit.

3.4  Gejala klinis

  1. Kurang lebih 2/3 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan. Awitan ini ditandai dengan kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama 1 jam atau lebih, kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam.
  2. Terbentuk nodul rheumatoid. Pembengkakan ini terdiri atas sel darah putih dan debris sel yang terdapat di daerah trauma.
  3. Kerusakan struktur artikular dan periartikular ( tendon dan ligamentum ) menyebabkan terjadinya deformitas.
  1. Lupus Eritematosus Sistemik

6.1  Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh

6.2  Epidemiologi

Prevalensi SLE diberbagai Negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15 – 40 tahun.

6.3  Etiologi

Etiologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antar variasi genetic dan faktor lingkungan

6.4  Gejala klinis

  1. Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita SLE. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, dan lain lain.

  1. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal

  1. Demam

Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.

  1. Nyeri otot, nyeri sendi, atau inflamasi sendi
  2. Ruam pada kulit.
  1. Spondilitis ankilosa

7.1  Definisi

Spondilitis ankilosa merupakan penyakit inflamasi yang bersifat sistemik terutama menyerang sendi tulang belakang ( vertebra )

7.2  Epidemiologi

Spondilitis ankilosa biasanya mulai sejak decade kedua hingga decade ke tiga kehidupan dengan median usia 23 tahun. Pada 5% pasien, gejala timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Usia yang rinci sulit ditentukan karena diagnosis seringkali tidak dikenali selama bertahun – tahun.

7.3  Etiologi

Penyebab penyakit ini belum diketahui tetapi penyakit ini cenderung diturunkan secara genetic.

7.4  Gejala klinis

Gejala klinik SA dapat dibagi dalam manifestasi skeletal dan ekstraskeletal. Manifestasi skeletal berupa artritis aksis, artritis sendi panggul dan bahu, artritis perifer, entensopati, osteoporosis, dan fraktur vertebra. Manifestasi ekstraskeletal berupa iritis akut, fibrosis paru, dan amiloidosis.

Gejala utama SA adalah adanya sakroilitis. Perlangsungannya secara gradual dengan nyeri hilang timbul pada pinggang bawah dan menyebar ke bawah pada daerah paha. Keluhan konstitusional biasanya sangat ringan, seperti anoreksia, kelemahan, penurunan berat badan, dan panas ringan yang biasanya terjadi pada awal penyakit

  1. Arthritis pirai ( Gout )

8.1  Definisi

Arthritis pirai merupakan penyakit heterogen sebagai akibat dari deposisi Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan ekstraseluler

8.2  Epidemiologi

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, sedangkan pada wanita jarang sebelum menopause.

8.3  Etiologi

Gangguan metabolism

Hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl dan 6,0 mg/dl. Penumpukan Kristal monosodium urat pada sendi.

8.4  Gejala klinis

  1. Peningkatan kadar urat serum
  2. Terjadi pembengkakan mendadak dan nyeri yang luar biasa, terutama pada sendi ibu jari kaki
  3. Arthritis dan peradangan local
  4. Demam dan peningkatan sel darah putih
  5. Kegagalan ginjal akibat penumpukan batu asam urat
  1. Pseudogout

9.1  Definisi

Serangan radang akut dengan gejala mirip dengan gout dan sering tampak pada pasien – pasien dengan penimbunan Kristal CPPD

9.2  Epidemiologi

Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang sendi akibat penimbunan Kristal ( atropati Kristal ) sangat jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pernah dilaporkan menyatakan bahwa 10 – 15 % mengenai mereka yang berusia 65 – 70 tahun dan akan meningkat 30 -60 % pada usia di atas 80 tahun.

9.3  Etiologi

Penyebab dari pseudogout adalah timbunan Kristal CPPD di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan ini belum diketahui.

9.4  gejala klinis

inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Pada saat serangan akut didapatkan adanya pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas local sekitar sendi yang sakit. Gambaran tersebut menyerupai gout.

BAB 3

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM NERVOSUM

DAN SUSUNAN SARAF PUSAT DAN TEPI

 

  1. HYDROCEFALUS
  2. Defenisi

Hydrocephalus adalah akumulasi cairan serebro spinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid atau ruang subdural (Suriadi daan Yuliani, 2001).
Hydrochepalus yaitu timbul bila ruang cairan serebro spinalis interna atau eksternal melebar ( Mumenthaler, 1995).

Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan cerebro spinalis tanpa atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal (Ngatisyah, 1997).

Hydrocephalus berkembang jika aliran serebro spinal terhambat pada tempat sepanjang perjalanannya, timbulnya hydrocephalus akibat produksi berlebihan cairan serebrospinal dianggap sebagai proses yang intermitten setelah suatu infeksi atau trauma. Ini dapat terjadi kelainan yang progresif pada anak – anak yang disebabkan oleh papyloma pleksus dapat diatasi dengan operasi (Mumenthaler, 1995). Pembagiaan hydrocephalus pada anak dan bayi

Hydrocephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dibagi menjadi 2 yaitu :

  1. Kongenital

Merupakan hydrocphalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan sehingga pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil, terdesak oleh banyaknya cairan dalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.

  1. Non Kongenital

Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar dengan penyebabnya yaitu penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.Pada hydrocephalus didapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian teganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial sehingga perbedaan antara hydrocephalus kongenital dan hydrocephalus non kongenital terletak pad pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya.

Berdasarkan letak obstruksi CSF hydrocephalus pada bayi dan anak ini juga dalam 2 bagian, terbagi yaitu;

  1. Hydrocephalus Komunikan (kommunucating hydrocephalus)

Pada hydrocephalus Komunikan obstruksinya terdapat pada rongga subarachnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSF dalam sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan.

  1. Hydricephalus Non komunukan (nonkommunican hydrocephalus)

Pada hydrocephalus nonkomunikan obstruksinya terdapat dalam system ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF. Biasanya gangguan yang terjadi pada hydrocephalus kongenital adalah pada sistem ventikel sehingga terjadi bentuk hydrocephalus nonkomunikan.

  1. Etiologi

Etiologi Hidrosefalus menurut L.Djoko Listiono (1998 );

  1. Sebab-sebab Prenatal

Sebab prenatal merupakan faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus kongenital yang timbul in- utero ataupun setelah lahir. Seabb-sebab ini mencakup malformasi ( anomali perkembangan sporadis ), infeksi atau kelainan vaskuler. Pada sebagian besar pasien banyak yang etiologi tidak dapat diketahui dan untuk ini diistilahkan sebagai hidrosefalus idiopatik.

  1. Sebab-sebab Postnatal
    1. Lesi masa menyebabkan peningkatan resistensi aliran liquor serebrospinal dan kebanyakan tumor berlokasi di fosa posterior.Tumor lain yang menyebabkan hidrosefalus adalah tumor di daerah mesencephalon. Kista arachnoid dan kista neuroepitalial merupakn kelompok lesi masa yang menyebabkan aliran gangguan liquor berlokasi di daerah supraselar atau sekitar foramen magmum.
    2. Perdarahan yang disebabkan oleh berbagai kejadian seperti prematur, cedera kepala, ruptura malformasi vaskuler.
    3. Semua meningitis bakterialis dapat menyebabkan hidrosefalus akibat dari fibrosis leptomeningeal. Hidrosefalus yang terjadi biasanya multi okulasi, hal ini disebabkan karena keikutsertaan adanya kerusakan jaringan otak
    4. Gangguan aliran vena. Biasanya terjadi akibat sumbatan antomis dan fungsional seperti akhondroplasia dimana terjadi gangguan drainase vena pada basis krani, trombosis jugularis.

Penyebab sumbatan aliran CSF, Penyebab sumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak – anak. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi adalah:

  1. Kelainan bawaan
  2. Stenosis Aquaductus sylvi

Merupakan penyebab yang paling sering pada bayi/anak (60-90%) Aquaductus dapat berubah saluran yang buntu sama sekali atau abnormal ialah lebih sempit dari biasanya. Umumnya gejala Hidrocefalus terlihat sejak lahir/progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.

  1. Spina bifida dan cranium bifida

Biasanya berhubungan dengan sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan cerebelum, letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian/total.

  1. Sindrom Dandy-Walker

Merupakan atresia congenital foramen luscha dan mengendie dengan akibat Hidrocefalus obstruktif dengan pelebran sistem ventrikel terutama ventrikel IV sehingga merupakan krista yang besar di daerah losa posterior.

  1. Kista Arachnoid

Dapat terjadi   conginetal membai etiologi menurut usia

  1. Anomali Pembuluh Darah
  1. Infeksi

Infeksi mengakibatkan perlekatan meningen (selaput otak) sehingga terjadi obliterasi ruang subarakhnoid,misalnya meningitis.

  1. Perdarahan
  2. Neoplasma

Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap aliran CSS. Neoplasma tersebut antara lain:

  1. Tumor Ventrikel kiri
  2. Tumorfosa posterior
  3. Pailoma pleksus khoroideus
  4. Leukemia, limfoma
  1. Degeneratif.

Histositosis incontentia pigmenti dan penyakit krabbe.

  1. Gangguan Vaskuler
  1. Dilatasi sinus dural
  2. Thrombosis sinus venosus
  3. Malformasi V. Galeni
  4. Ekstaksi A. Basilaris
  5. Arterio venosusmalformasi
  1. TANDA DAN GEJALA

Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi.

Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.

Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaranvontanela.

Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional.

Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.

  1.     Manifestasi Klinik

Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi. Puncak orbital tertekan ke bawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya. Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela. Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional. Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.

  1. Bayi :
    1. Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.
    2. Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.

Tanda – tanda peningkatan tekanan intracranial antara lain :

  1. Muntah
  2. Gelisah
  3. Menangis dengan suara ringgi
  4. Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasandan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.
    1. peningkatan tonus otot ekstrimitas
    2. Dahi menonjol atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas
    3. Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera terlihat seolah – olah diatas iris
    4. Bayi tidak dapat melihat ke atas, ‘‘Sunset Eyes”
    5. Strabismus, nystagmus, atropi optic
    6. Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas
    7. Anak yang telah menutup suturanya;

Tanda – tanda peningkatan intarakranial

  1. Nyeri kepala
  2. Muntah
  3. Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
  4. Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun
  5. Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer
  6. Strabismus
  7. Perubahan pupil

 

  1. Ventrikulografi

Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

  1. Ultrasanografi

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

 

  1. PARKINSON
  2. Pengertian

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat dengan usia. Penyakit ini mempunyai karakteristik terjadinya degenerasi dari neuron dopaminergik pas substansia nigra pars kompakta, ditambah dengan adanya inklusi intraplasma yang terdiri dari protein yang disebut dengan Lewy Bodies. Neurodegeneratif pada parkinson juga terjadi pasa daerah otak lain termasuk lokus ceruleus, raphe nuklei, nukleus basalis Meynert, hipothalamus, korteks cerebri, motor nukelus dari saraf kranial, sistem saraf otonom.

Dua hipotesis yang disebut juga sebagai mekanisme degenerasi neuronal ada penyakit Parkinson ialah: hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin.

  1. Hipotesis radikal bebas

Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari dopamine dapat merusak neuron nigrotriatal, karena proses ini menghasilkan hidrogren peroksid dan radikal oksi lainnya. Walaupun ada mekanisme pelindung untuk mencegah kerusakan dari stress oksidatif, namun pada usia lanjut mungkin mekanisme ini gagal.

  1. Hipotesis neurotoksin

Diduga satu atau lebih macam zat neurotoksik berpera pada proses neurodegenerasi pada Parkinson.

Pandangan saat ini menekankan pentingnya ganglia basal dalam menyusun rencana neurofisiologi yang dibutuhkan dalam melakukan gerakan, dan bagian yang diperankan oleh serebelum ialah mengevaluasi informasi yang didapat sebagai umpan balik mengenai pelaksanaan gerakan. Ganglia basal tugas primernya adalah mengumpulkan program untuk gerakan, sedangkan serebelum memonitor dan melakukan pembetulan kesalahan yang terjadi seaktu program gerakan diimplementasikan. Salah satu gambaran dari gangguan ekstrapiramidal adalah gerakan involunter. Dasar patologinya mencakup lesi di ganglia basalis (kaudatus, putamen, palidum, nukleus subtalamus) dan batang otak (substansia nigra, nukleus rubra, lokus seruleus).

Secara sederhana , penyakit atau kelainan sistem motorik dapat dibagi sebagai berikut :

  1. Piramidal ; kelumpuhan disertai reflek tendon yang meningkat dan reflek superfisial yang abnormal
  2. Ekstrapiramidal : didomonasi oleh adanya gerakan-gerakan involunter
  3. Serebelar : ataksia alaupun sensasi propioseptif normal sering disertai nistagmus
  4. Neuromuskuler : kelumpuhan sering disertai atrofi otot dan reflek tendon yang menurun

Patofisiologi depresi pada penyakit Parkinson sampai saat ini belum diketahui pasti. Namun teoritis diduga hal ini berhubungan dengan defisiensi serotonin, dopamin dan noradrenalin.

Pada penyakit Parkinson terjadi degenerasi sel-sel neuronyang meliputi berbagai inti subkortikal termasuk di antaranya substansia nigra, area ventral tegmental, nukleus basalis, hipotalamus, pedunkulus pontin, nukleus raphe dorsal, locus cereleus, nucleus central pontine dan ganglia otonomik. Beratnya kerusakan struktur ini bervariasi. Pada otopsi didapatkan kehilangan sel substansia nigra dan lokus cereleus bervariasi antara 50% – 85%, sedangkan pada nukleus raphe dorsal berkisar antara 0% – 45%, dan pada nukleus ganglia basalis antara 32 % – 87 %.

Inti-inti subkortikal ini merupakan sumber utama neurotransmiter. Terlibatnya struktur ini mengakibatkan berkurangnya dopamin di nukleus kaudatus (berkurang sampai 75%), putamen (berkurang sampai 90%), hipotalamus (berkurang sampai 90%). Norepinefrin berkurang 43% di lokus sereleus, 52% di substansia nigra, 68% di hipotalamus posterior. Serotonin berkurang 40% di nukleus kaudatus dan hipokampus, 40% di lobus frontalis dan 30% di lobus temporalis, serta 50% di ganglia basalis. Selain itu juga terjadi pengurangan nuropeptid spesifik seperti met-enkephalin, leu-enkephalin, substansi P dan bombesin.

Perubahan neurotransmiter dan neuropeptid menyebabkan perubahan neurofisiologik yang berhubungan dengan perubahan suasana perasaan. Sistem transmiter yang terlibat ini menengahi proses reward, mekanisme motivasi, dan respons terhadap stres. Sistem dopamin berperan dalam proses reward dan reinforcement. Febiger mengemukakan hipotesis bahwa abnormalitas sistem neurotransmiter pada penyakit Parkinson akan mengurangi keefektifan mekanisme reward dan menyebabkan anhedonia, kehilangan motivasi dan apatis. Sedang Taylor menekankan pentingnya peranan sistem dopamin forebrain dalam fungsi-fungsi tingkah laku terhadap pengharapan dan antisipasi. Sistem ini berperan dalam motivasi dan dorongan untuk berbuat, sehingga disfungsi ini akan mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan terhadap lingkungan dengan berkurangnya keinginan melakukan aktivitas, menurunnya perasaan kemampuan untuk mengontrol diri. Berkurangnya perasaan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri dapat bermanifestasi sebagai perasaan tidak berguna dan kehilangan harga diri. Ketergantungan terhadap lingkungan dan ketidakmampuan melakukan aktivitas akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan putus asa. Sistem serotonergik berperan dalam regulasi suasana perasaan, regulasi bangun tidur, aktivitas agresi dan seksual. Disfungsi sistem ini akan menyebabkan gangguan pola tidur, kehilangan nafsu makan, berkurangnya libido, dan menurunnya kemampuan konsentrasi. Penggabungan disfungsi semua unsur yang tersebut di atas merupakan gambaran dari sindrom klasik depresi.

Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi harus diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang etiologi, prognosis dan penatalaksanaannya.

  1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans.

Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.

  1. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik

Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis, sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.

  1. Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)

Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson (degenerasi hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral, atropi palidal (parkinsonismus juvenilis).

  1. Tanda dan Gejala

Tanda Penting Perkinsonisme adalah rigiditas, tremor (khususnya saat istirahat), akinesia atau bradikinesia, dan hilangnya refleks tubuh. Disfungsi ini bersifat kronik dan progresif tetapi dengan berbagai variasi gejala antar pasien.

Rigiditas mungkin hanya terbatas pada satu kelompok otot dan terutama unilateral atau dapat menyebar dan bilateral. Parkinsonisme menurunkan kekuatan dan menurunkankecepatan otot, dan merupakan faktor utama dalam terjadinya deformitas akibat sindrom ini. Gejala pasif yang melibatkan ekstrimitas atau trunkus mengalami resistensi “traffylike” yang relatif stabil melalui kisaran gerakan. Parkinsonisme telah dibandingkan dengan pipa saluran yang ditekuk sehingga kadang disebut rigiditas pipa saluran. “Catches “ sering timbul selama gerakan pasif, menyebabkan karakter roda pedati atau “rachetlike” pada rigiditas yang disebut rigiditas roda pedati. Otot fleksor maupun ekstensor berkontraksi kuat(tonus meningkat), mengindikasikan adanya gangguan kontrol pada kelompok otot yang bersebrangan.

Jika rigiditas melibatkan trunkus, rigiditas itu bertanggungjawab terhadap gaya berjalan dan masalah posisi tubuh akibat Parkinson. Pasien membungkuk ketika mereka berdiri sehingga dagu maju jauh ke depan daripada ibu jarinya. Mereka berjalan sambil menyeret kakinya terburu-buru, langkah yang semakin cepat bila tersandung ke depan dan mencoba untuk cepat mengembalikan kaki mereka pada keadaan semula (festinating gait).

Tremor akibat parkinsonisme timbul pada saat istirahat dan disebut tremor istirahat. Ketika otot menegang untuk melakukan tindakan yang bertujuan, biasanya tremor akan berhenti. (sekitar sepertiga pasien mengalami tremor yang hebat bersamaan dengan tremor istirahat, namun seperti yang telah disebutkan, tremor hebat biasanya berkaitan dengan disfungsi serebelum). Tremor yang melibatkan tangan dijelaskan sebagai pill rolling dan mengakibatkan gerakan ritmis ibu jari pertama dan kedua. Tremor adalah akibat dari kontraksi bergantian yang regular (4 hingga 6 siklus per detik) pada otot yang berlawanan. Tremor sepertinya akan memburuk jika pasien lelah, di bawah tekanan emosi, atau terfokus pada tremor. Dasar tremor tidak jelas. Degenerasi ganglia basalis menyebabkan hilangknya pengaruh inhibitor dan menigkatkan timbal balik berbagai sirkuit yang berakibat dalam osilasi. Tidak semua pasien memiliki tremor yang jelas. Bila pasien secara tidak sengaja mengalami kecelakaan serebrovaskular (CVA, stroke) dan timbul hemiplegia, tremor akan hilang pada bagian yang paralisis.

Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu. Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur.

Gerakan volunteer menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif, misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut.

Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini, berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan, punggung melengkung bila berjalan.4

Sering pula terjadi bicara monoton karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring, sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume suara halus ( suara bisikan ) yang lambat.

Demensia, adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan deficit kognitif. Gangguan Behavioral, lambat-laun menjadi dependen ( tergantung kepada orang lain ), mudah takut, sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat (bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu yang cukup, dan gejala lain yaitu kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal hidungnya (tanda Myerson positif)

Ada pula gejala non motorik

  1. Disfungsi otonom
  2. Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia dan hipotensi ortostatik.
  3. Kulit berminyak dan infeksi kulit seborrheic
  4. Pengeluaran urin yang banyak
  5. Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat seksual, perilaku, orgasme.
  6. Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
  7. Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
  8. Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)
  9. Gangguan sensasi,
  10. kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna,
  11. penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan
  12. berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau ( microsmia atau anosmia),

Gambaran tambahan parkinsonisme adalah

  1. Gangguan okulomotorius : Pandangan yang kabur bila melihat suatu titik akibat ketidakmampuan untuk mempertahankan kontraksi otot okular. Gejala ini seringkali tidak dapat dibedakan dari gejala awal gangguan gerak neurodegeneratif yang jarang terjadi dan secara terpisah disebut palsi supranuklear progressive (PSP).
  2. Krisis okuligirik : spasme otot mata untuk berkonjugasi dengan mata yang terfiksasi(biasanya pada pandangan ke atas, selama beberapa menit hingga beberapa jam; berkaitan dengan parkinsonisme yang berasal dari eksogen, seperti penggunaan obat atau pascaensefalitis.
  3. Kelelahan dan nyeri otot yang sangat pada kelelahan otot akibat rigiditas.
  4. Hipotensipostural akibat efek samping pengobatan dengan campur tangan kontrol tekanan darah yang diperantarai oleh ANS.
  5. Gangguan fungsi pernapasan yang berkaitan dengan hipoventilasi, inaktivitas, aspirasi makanan atau saliva, dan berkurangnya bersihan jalan napas.

 

 

 

 

BAB 4

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM PENDENGARAN

 

  1. Prikondritis

Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu trauma atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium dan kartilago telinga luar (1,2). Umumnya trauma berupa laserasi atau akibat kerusakan yang tidak disengajakan pada pembedahan telinga (1,3,4). Adakalanya perikondritis terjadi setelah suatu memar tanpa adanya hematoma. Dalam stage awal infeksi, pinna dapat menjadi merah dan kenyal. Ini diikuti oleh pembengkakan yang general dan membentuk abses subperikondrial dengan pus terkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan dibawahnya.

  1. Radang telinga (otitas media)

Penyakit ini disebabkan karena virus atau bakteri. Gejalanya sakit pada telinga, demam, dan pendengaran berkurang. Telinga akan mengeluarkan nanah.

  1. Labirintitis

Labirintitis merupakan gangguan pada labirin dalam telinga. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi, gegar otak, dan alergi. Gejalanya antara lain telinga berdengung, mual, muntah, vertigo, dan berkurang pendengaran.

4. Motion sickness

Mabuk perjalanan atau disebut motion sickness. Mabuk perjalanan ini merupakan gangguan pada fungsi keseimbangan. Penyebabnya adalah rangsangan yang terus menerus oleh gerakan atau getaran-getaran yang terjadi selama perjalanan, baik darat, laut maupun udara. Biasanya disertai dengan muka pucat, berkeringat dingin dan pusing.

  1. Tuli

Tuli atau tuna rungu ialah kehilangan kemampuan untuk dapat mendengar. Tuli dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tuli konduktif dan tuli saraf. Tuli konduktif terjadi disebabkan oleh menumpuknya kotoran telinga di saluran pendengaran, sehingga mengganggu transmisi suara ke koklea. Tuli saraf terjadi bila terdapat kerusakan syaraf pendengaran atau kerusakan pada koklea khususnya pada organ korti.

  1. Othematoma

Pada beberapa kasus kelainan pada telinga terjadi kelainan yang disebut othematoma atau popular dengan sebutan ‘telinga bunga kol’, suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada tulang rawan telinga yang dibarengi dengan pendarahan internal serta pertumbuhan jaringan telinga yang berlebihan (sehingga telinga tampak berumbai laksana bunga kol). Kelainan ini diakibatkan oleh hilangnya aurikel dan kanal auditori sejak lahir.

  1. Penyumbatan

Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan menyebabkan gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara. Dokter akan membuang serumen dengan cara menyemburnya secara perlahan dengan menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga keluar nanah, terjadi perforasi gendang telinga atau terdapat infeksi telinga yang berulang, maka tidak dilakukan irigasi. Jika terdapat perforasi gendang telinga, air bisa masuk ke telinga tengah dan kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada keadaan ini, serumen dibuang dengan menggunakan alat yang tumpul atau dengan alat penghisap. Biasanya tidak digunakan pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi alergi pada kulit saluran telinga, dan tidak mampu melarutkan serumen secara adekuat.


  1. Perikondritis

Perikondritis adalah suatu infeksi pada tulang rawan (kartilago) telinga luar. Perikondritis bisa terjadi akibat: – cedera – gigitan serangga – pemecahan bisul dengan sengaja. Nanah akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan ikat di sekitarnya (perikondrium). Kadang nanah menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago, menyebabkan kerusakan pada kartilago dan pada akhirnya menyebabkan kelainan bentuk telinga. Meskipun bersifat merusak dan menahun, tetapi perikondritis cenderung hanya menyebabkan gejala-gejala yang ringan. Untuk membuang nanahnya, dibuat sayatan sehingga darah bisa kembali mengalir ke kartilago. Untuk infeksi yang lebih ringan diberikan antibiotik per-oral, sedangkan untuk infeksi yang lebih berat diberikan dalam bentuk suntikan. Pemilihan antibiotik berdasarkan beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya. (medicastore) Ada banyak lagi gangguan yang terjadi pada alat pendengaran kita ini, misalnya tumor, cedera, eksim, otitis dan lain-lain

  1. Erisipelas

Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus Grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak, keras, dan panas. Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis tapi berbatas tegas. Gejala sistemik berupa demam dan malaise juga dapat ditemukan. Infeksi ini diobati dengan penisilin oral, karena penyakit ini berjalan dengan progresif dan berpotensi mengurangi kualitas hidup, penanganan dibutuhkan sedini mungkin.

BAB 5

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM PENGELIHATAN

 

  1. KATARAKS

Katarak adalah istilah kedokteran untuk setiap keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.

Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul mata. Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi.

Katarak mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat air terjun. Penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.

  1. Patofisiolgi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar.

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi.  Perubahan dalam serabut halus multipel (zonula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa.  Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina.  Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar.  Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.

Katarak bisa terjadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma atau sistemis (diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan yang normal.  Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol, merokok, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama.

  1. Mata miop (miopi)

Miopi atau mata dekat adalah cacat mata yang disebab-kan lensa mata terlalu cembung sehingga bayangan jatuh di depan bintik kuning (retina). Miopi disebut pula rabun jauh, karena tidak dapat melihat jauh. Penderita miopi hanya mampu melihat jelas pada jarak yang dekat. Untuk membantu penderita miopi, sebaiknya memakai kaca mata berlensa cekung (negatif).

  1. Mata hipermetrop (hipermetropi)

Hipermetropi atau mata jauh adalah cacat mata yang disebabkan lensa mata terlalu pipih sehingga bayangan jatuh di belakang bintik kuning. Hipermetropi disebut pula rabun dekat, karena tidak dapat melihat dekat. Penderita hipermetropi hanya mampu melihat jelas pada jarak yang jauh. Untuk membantu penderita hipermetropi, dipakai kacamata lensa cembung (lensa positif).

  1. Mata presbiop (presbiopi)

Presbiopi umumnya terjadi pada orang berusia lanjut. Keadaan ini disebabkan lensa mata terlalu pipih dan daya akomodasi mata sudah lemah sehingga tidak dapat memfokuskan bayangan benda yang berada dekat dengan mata. Gangguan mata seperti itu dapat dibantu dengan memakai kacamata berlensa rangkap.

Di bagian atas kacamata dipasang lensa cekung untuk melihat benda yang jauh, sedangkan di bagian bawahnya dipasang lensa cembung untuk melihat benda dekat.

  1. Mata astigmatisma

Mata astigmatisma adalah cacat mata yang disebabkan kecembungan kornea tidak rata, sehingga sinar sejajar yang datang tidak dapat difokuskan ke satu titik. Untuk membantu penderita astigmatisma dipakai kacamata silindris.

  1. Hemeralopi (rabun senja)

Hemeralopi adalah gangguan mata yang disebabkan kekurangan vitamin A. Penderita rabun senja tidak dapat melihat dengan jelas pada waktu senja hari. Keadaan seperti itu apabila dibiarkan berlanjut terus mengakibatkan kornea mata bisa rusak dan dapat menyebabkan kebutaan. Oleh karena itu, pemberian vitamin A yang cukup sangat perlu dilakukan.

  1. Buta warna

Buta warna merupakan gangguan penglihatan mata yang bersifat menurun. Penderita buta warna tidak mampu membedakan warna-warna tertentu, misalnya warna merah, hijau, atau biru. Buta warna tidak dapat diperbaiki atau disembuhkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 6

PATOLOGI ANATOMI PADA SIISTEM PENCERNAAN DAN PERNAPASAN

 

  1. SISTEM PENCERNAAN
  2. Parotitis atau penyakit gondong,

yaitu penyakit yangdisebabkan oleh virus yang menyerang kelenjar air ludah di bagian bawah telinga akibatnya kelenjar air ludah menjadi bengkak atau membesar.

  1. Xerostomia,

Adalah istilah bagi penyakit pada rongga mulut yang ditandai dengan rendahnya produksi air ludah. Kondisi mulut yang kering membuat makanan kurang tercerna dengan baik.

  1. Tukak lambung,

Terjadi karena adanya luka pada dinding lambung bagian dalam. Makan secara teratur sangat dianjurkan untuk mengurangi risiko timbulnya tukak lambung.

  1. Apendisitis atau infeksi usus buntu,

Dapat merembet sampai ke usus besar dan menyebabkan radang selaput rongga perut.

  1. Diare atau “mencret”,

Adalah penyakit yang disebabkan oleh inveksi bakteri maupun protozoa pada usus besar. Karena inveksi tersebut, proses penyerapan air di usus besar terganggu, akibatnya feses menjadi encer.

  1. Konstipasi atau sembelit

Terjadi akibat penyerapan air di dalam usus besar terjadi secara berlebihan, akibatnya feses menjadi sangat padat dan keras sehingga sulit dikeluarkan. Untuk mencegah sembelit dianjurkan untuk buang air besar secara teratur tiap hari, serta
banyak makan sayur dan buah-buahan.

 

 

 

  1. SISTEM PERNAPASAN
  2. Efisema

Emfisema disebabkan hilangnya elastisitas alveolus.Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini. Gejala yang ditimbulkan:

  1. Nafsu makan yang menurun dan berat badan yang menurun juga biasa dialami penderita emfisema.
  1. Sesak napas dalam waktu lama dan tidak dapat disembuhkan dengan obat pelega yang biasa digunakan penderita sesak napas.

Pencegahan dan solusi: Menghindari asap rokok adalah langkah terbaik untuk mencegah penyakit ini. Berhenti merokok juga sangat penting.

  1. Pneumonia

Pneumoniaatau Logensteking yaitu penyakit radang pari-paru yang disebabkan oleh diplococcus pneumoniae.

Penyakit ini menyebabkan radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri Diplococcus pneumonia.Akibat peradangan alveolus dipenuhi oleh nanah dan lender sehingga oksigen sulit berdifusi mencapai darah. Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi “inflame” dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak minum alkohol.Namun penyebab yang paling sering ialah serangan bakteria streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus.

Penyakit Pneumonia sering kali diderita sebagian besar orang yang lanjut usia (lansia) dan mereka yang memiliki penyakit kronik sebagai akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh (Imun), akan tetapi Pneumonia juga bisa menyerang kaula muda yang bertubuh sehat. Saat ini didunia penyakit Pneumonia dilaporkan telah menjadi penyakit utama di kalangan kanak-kanak dan merupakan satu penyakit serius yang meragut nyawa beribu-ribu warga tua setiap tahun.

Terjadinya penyakit pneumonia yaitu gejala yang berhubungan dengan pneumonia termasuk batuk, sakit dada, demam, dan kesulitan bernafas.Sedangkan tanda-tanda menderita Pneumonia dapat diketahui setelah menjalani pemeriksaan X-ray (Rongent) dan pemeriksaan sputum.Cara penularan virus atau bakteri Pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah :

  1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya tahan tubuh (Immun) yang lemah.
  2. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan Pneumonia.Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu infeksi.
  3. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) ‘endotracheal tube’ sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka potensial tinggi terkena Pneumonia.
  4. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus.
  5. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri.

Penanganan dan pengobatan pada penderita Pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala yang timbul dan type dari penyebab Pneumonia itu sendiri, antara lain:

  1. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan haruslah benar-benar komplite sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala atau hasil pemeriksaan X-ray dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri Pneumonia, jika tidak maka suatu saat Pneumonia akan kembali diderita.
  2. Pneumonia yang disebabkan oleh virus akan diberikan pengobatan yang hampir sama dengan penderita flu, namun lebih ditekankan dengan istirahat yang cukup dan pemberian intake cairan yang cukup banyak serta gizi yang baik untuk membantu pemulihan daya tahan tubuh.
  3. Pneumonia yang disebabkan oleh jamur akan mendapatkan pengobatan dengan pemberian antijamur.

Disamping itu pemberian obat lain untuk membantu mengurangi nyeri, demam dan sakit kepala. Pemberian obat anti (penekan) batuk di anjurkan dengan dosis rendah hanya cukup membuat penderita bisa beristirahat tidur, Karena batuk juga akan membantu proses pembersihan secresi mucossa (riak/dahak) diparu-paru.

  1. Influenza

Influenza disebabkan oleh virus influenza.Gejala yang ditimbulkan antara lain pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, dan tenggorokan terasa gatal.Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernafasan terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan batuk yang tidak berdahak. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri.

Influenza merupakan penyakit yang dapat menjalar dengan cepat di masyarakat. Walaupun ringan tetapi penyakit ini dapat berbahaya bagi usia sangat muda dan usia tua dimana terdapat keterbatasan fungsi pernafasan. Penyakit ini terutama terjadi pada musin dingin di negara bermusim dingin dan di musim hujan pada negara-negara tropis.Mahluk hidup tempat berkembang dan menyebarkan influenza ini adalah manusia sendiri. Diduga bahwa hewan lain seperti burung, babi, dan kuda memegang peranan dalam menciptakan jenis virus influenza dengan jenis yang berbeda akibat adanya mutasi di hewan-hewan tersebut. Penyebaran virus influenza ini melalui tetesan air liur pada saat batuk dan melalui partikel yang berasal dari sel hidung yang melayang di udara terutama di ruangan tertutup.

Penyebab influenza adalah virus yang menginfeksi jaringan saluran nafas bagian atas. Terdapat 3 jenis virus yang di kenal yaitu A,B, dan C. Virus tipe A akan menyebabkan gejala  yang berat, menyebar secara cepat dan dapat menyebabkan infeksi di suatu negara atau wilayah (pandemi). Virus tipe B akan menyebabkan gejala yang lebih ringan dan penyebarannya tidak secepat virus tipe A. Virus tipe C hanya memberikan gejala yang ringan saja. Perbedaan dari virus ini dapat diketahui melalui pemeriksaan dari cairan ludah dengan mempergunakan test secara genetik.

Transmisi virus melalui udara dan air ludah sangat bergantung dari jumlah virus yang terkandung didalamnya. Dari hasil penelitian apabila didapatkan 10 virus / air ludah sebanyak 50% orang yang terkena air ludah ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada sel permukaan di rongga hidung dan saluran nafas.

Setelah virus berhasil masuk kedalam sel, dalam beberapa jam akan mengalami replikasi dan menuju ke permukaan sel sehingga dapat meninggalkan sel yang sudah rusak untuk masuk ke sel yang baru, baik sel yang berada di sebelahnya atau menempel pada air ludah dan menyebar melalui udara.

Gejala pada penderita Influenza, umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, batuk , pilek, terkadang disertai sakit pada waktu menelan dan serak. Gejala ini dapat didahului oleh lemah badan dan rasa dingin.Pada kondisi ini biasanya sudah didapatkan gambaran kemerahan pada tenggorokan.

Gejala-gejala diatas dapat terjadi beberapa hari dan hilang dengan sendirinya. Tubuh memiliki kemampuan untuk menghilangkan virus dan bakteri yang berbahaya melalui sistem pertahanan tubuh degnan sel darah putih, tetapi pertahanan ini akan baik apabila kondisi tubuh baik pula. Setelah masa penghancuran virus dan bakteri berbahaya  tubuh membutuhkan waktu untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah terjadi sehingga akan terasa lemas dan lemah.

  1. Asma

Asma merupakan penyakit penyumbatan saluran pernafasan yang disebabkan alergi terhadap rambut, bulu atau kotoran, debu, atau tekanan psikologis.Asma bersifat menurun.

Gambar: Saluran pernafasan manusia yang terkena asma

Penyakit ini menyebabkan penyempitan saluranpernapasan.Penyakit ini dapat disebabkan oleh alergi.Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas.Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma adalah  alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga , sensitisasi (bahan) lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara di luar maupun di dalam ruangan, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosio ekonomi, besarnya keluarga, obesitas .

Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah :

  1. alergen di dalam maupun di luar ruangan
  2. polusi udara di luar maupun di dalam ruangan
  3. infeksi pernapasan
  4. olah raga dan hiperventilasi
  5. perubahan cuaca
  6. makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)
  7. obat-obatan, seperti asetil salisilat
  8. ekspresi emosi yang berlebihan
  9. asap rokok
  10. iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.

Gejala awal berupa :

  1. batuk terutama pada malam atau dini hari
  2. sesak napas
  3. napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya
  4. rasa berat di dada
  5. dahak sulit keluar.

Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa.Yang termasuk gejala yang berat adalah serangan batuk yang hebat Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut) Sulit tidur dan posisi tidur yangnyaman adalah dalam keadaan duduk Kesadaran menurun.(Abdul Muchid, 2007)

  1. Tonsillitis

Tonsillitisadalah peradangan pada tonsil (amandel). Jika terjadi infeksi melalui mulut atau saluran pernapasan, tonsil akan membengkak(radang) yang dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan.

  1. Asfiksi

Asfiksi adalah gangguan pernapasan pada waktu pengangkutan dan penggunaan oksigen yang disebabkan oleh tenggelam (akibat alveolus terisi air), pneumonia (akibatnya alveolus terisi cairan lendir dan cairan limfa), keracunan CO dan HCN, atau gangguan sitem sitokrom (enzim pernapasan).Penyakit ini menyebabkan terganggunya pengangkutan oksigen ke sel-sel atau jaringan tubuh.

Gangguan pada proses pengikatan oksigen yang sering terjadi adalah asfiksi. Hal tersebut terjadi karena adanya kompetisi antara oksigen dan zat lain yang dapat berikatan dengan hemoglobin. Contohnya pada keracunan gas karbon monoksida (CO).Karbon monoksida lebih mudah berikatan dengan hemoglobin dibandingkan dengan oksigen.Hal ini menyebabkan hemoglobin mengikat karbon monoksida, bukan oksigen. Jika sebagian besar darah berikatan dengan karbon monoksida, jaringan dalam tubuh akan kekurangan oksigen. Gangguan pengikatan oksigen juga terjadi jika paru-paru terisi oleh zat lain, seperti air pada kasus orang yang tenggelam. Pada peristiwa tenggelam, alveolus terisi oleh air sehingga darah tidak mendapatkan pasokan oksigen yang memadai.

 

  1. Radang

Radang adalah gangguan pernapasanyang terbagi oleh :

  1. Rinitis, peradangan pada hidung
  2. Sinusitis adalah radang sinus paranasal (rongga-rongga yang bermuara dilubang hidung)
  3. Faringitis adalah suatu penyakit peradangan yang menyerang faring atau tenggorokan. Kadang juga disebut radang tenggorokan (sorethroat)
  4. Laringitis, radang pada laring
  1. Bronkitis

Bronkitis merupakan peradangan pada bronkussehinggaterjadi penyempitan diameter bronkus.Penyakit ini menyebabkan peradangan pada dinding bronkus yang disebabkan oleh virus.Penyakit ini menyebabkan batuk berdahak.Bronkitis digambarkan sebagai inflamasi dari pembuluh bronkus.Inflamasi menyebabkan bengkak pada permukaannya, mempersempit pembuluh danmenimbulkan sekresi dari cairan inflamasi.Bronchitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik.Perubahan bronkus tersebutdisebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksielemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus.Bronkus yang terkena umumnya bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terjadi.Hal ini dapatmemblok aliran udara ke paru-paru dan dapat merusaknya.Seringkali disebabkan infeksi virus yang menyebabkan permukaan dalam pembuluh bronkus menjadi inflamasi. Virus yang biasa menyerang adalah rhinovirus, respiratory syncytial virus(RSV), dan influenzavirus.  Bakteri juga dapat menyebabkan bronkitis seperti Mycoplasma, Pneumococcus,Klebsiella, Haemophilus.

Ada beberapa tipe penyakit Bronkitis, antara lain:

  1. Bronkitis akut

Bronkitis akut adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi virus yang melibatkan jalan nafas yang besar.Bronkitis akut pada umumnya ringan. Berlangsung singkat(beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Meski ringan, namunadakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan.

  1. Bronkitis kronis

Didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulandalam 1 tahun selama 2 tahun berturut turut, walaupun demikian tidak ada standart demikian yang dapat diterima pada anak-anak. Diagnosa kronik bronkitis biasanya dibuat berdasar adanya batuk menetap yang biasanya terkait dengan penyalahgunaan tobacco.Bronchitis kronis ditemukan dalam angka-angka yang lebih tinggi daripada normal diantara pekerja-pekerja tambang, pedagang-pedagang biji padi-padian, pembuat-pembuat cetakan metal, dan orang-orang lain yang terus menerus terpapar pada debu.Namun penyebab utama adalah merokok sigaret yang berat dan berjangka panjang, yang mengiritasi tabung-tabung bronchial dan menyebabkan mereka menghasilkan lendir yang berlebihan.(Agustinus haryanto, 2007)

Gejala utama bronkitis adalah timbulnya batuk produktif (berdahak) yangmengeluarkan dahak berwarna putih kekuningan atau hijau.Dalam keadaan normalsaluran pernapasan kita memproduksi mukus kira-kira beberapa sendok teh setiapharinya. Apabila saluran pernapasan utama paru (bronkus) meradang, bronkus akanmenghasilkan mukus dalam jumlah yang banyak yang akan memicu timbulnya batuk.Selain itu karena terjadi penyempitan jalan nafas dapat menimbulkan shortness of  breath. Menurut Gunadi Santoso dan Makmuri (1994), tanda dan gejala yang ada yaitu : Biasanya tidak demam, walaupun ada tetapi rendah , Keadaan umum baik, tidak tampak sakit, tidak sesak  , Mungkin disertai nasofaringitis atau konjungtivitis , Pada paru didapatkan suara napas yang kasar.

 

  1. Sianosis

Sinoasis adalah gangguan pernapasan yang kebiruan pada kulit yang disebabkan karena jumlah hemoglobin deoksigenisasi yang berlebihan di dalam pembuluh darah kulit, terutama kapiler.

  1. TBC (Tuberculosis)

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacteriumtubercolusis.Penyakit ini menyerang paru-paru sehinggaterbentuk bintil-bintil dalam alveolus.Penyakit TBC atau Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TBC ini paling sering menyerang paru-paru walapun pada sepertiga kasus menyerang organ tubuh lain dan ditularkan orang ke orang, melalui udara, makanan dan minuman, juga oleh darah atau juga lendir dari penderita TBC.

Penyakit TBC merupakan penyakit penyebab kematian nomor dua di dunia setelah stroke bahkan menjadi nomor satu untuk indonesia bagian timur menurut Dr Tihono Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan.  Indonesia bahkan tercatat sebagai negara penyumbang kasus TBC nomor empat di dunia setelah India, China dan Afrika Selatan.Diperkirakan ada 430 ribu kasus TBC baru dan 169 orang di antaranya meninggal setiap hari.

TBC atau tuberkulosis merupakan keadaan infeksi pada saluran pernafasan tetapi juga dapat menginfeksi hampir seluruh bagian tubuh seperti ginjal, tulang, saluran pencernaan,  kelenjar getah beningyang disebabkan oleh bakteri mycrobacterium dan dapat menular melalui udara saat penderita batuk, di indonesia setiap tahunnya terjadi kasus baru sebanyak seperempat juta dan hampir sekitar 140.000 mengalami kematian, sebenarnya apabila diobati dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks Mycobacterium tuberculosis ini dapat disembuhkan, oleh karena itu tindakan deteksi dini dan pengobatan yang cepat dapat mencegah penyakit ini.

Penyebab Penyakit TBC :

  1. Perokok
  2. Paru-paru luka
  3. Sistem kekebalan tubuh penderita yang lemah.
  4. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh menjadi agresif
  5. Lingkungan yang kotor sehingga kemungkinan penularan dan penyebaran bakteri menjadi lebih besar.

Gejala Penyakit TBC :

  1. Keringat pada malam hari
  2. Perasaan terasa lemah, lesu, dan tidak enak.
  3. Mudah terserang flu yang bersifat hilang timbul
  4. Turunnya berat badan dan kurang nafsu makan
  5. Sering mengalami demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama.
  6. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu dan kadang-kadang juga disertai dengandarah.

 

 

  1. Hipoksia

Hipoksia yaitu gangguan pernapasan dimana kondisi sindrom kekurangan oksigen pada pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan ketinggian.Pada kasus yang fatal dapat menyebabkan kematian pada sel-sel. Namun pada tingkat yang lebih ringan dapat menimbulkan penekanan aktivitas mental (kadang-kadangmemuncak sampai koma), dan menurunkankapasitas kerja otot.

  1. Wajah adenoid (kesan wajah bodoh),

Disebabkan adanya penyempitan saluran napas karena pembengkakan kelenjar limfa atau polip, pembengkakan di tekak atau amandel.

  1. Kanker paru-paru

Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak terkendali dalam jaringan paru-paru yan dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen lingkungan terutama asap rokok. Kanker paru-paru, mempengaruhi pertukaran gas di paru-paru.Kanker paru-paru dapat menjalar ke seluruh tubuh.Kanker paru-paru sangat berhubungan dengan aktivitas yang sering merokok.Perokok pasif juga dapat menderita kanker paru-paru.Penyebab lainnya yang dapat menimbulkan kanker paru-paru adalah penderita menghirup debu asbes, radiasi ionasi, produk petroleum, dan kromium.

Gejala-gejala umum penderita kanker paru-paru :

  1. Pembekakan di wajah atau di leher
  2. Napas sesak dan pendek-pendek
  3. Kehilangan nafsu makan dan turunnya berat badan
  4. Kelelahan kronis
  5. Dahak berdarah, berubaha warna dan semakin banyak
  6. Sakit kepala,nyeri dengan sebab yang tidak jelas
  7. Batuk yang terus menerus atau menjadi hebat
  8. Suara serak/parau

 

BAB 7

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM HORMONAL

 

  1. Penyakit Addison

Terjadi karena sekresi yang berkurang dariglukokortikoid. Hal ini dapat terjadi misalnya karena kelenjar adrenal terkena infeksi atau oleh sebab autoimun.
Gejala – gejalanya berupa :

  1. Berkurangnya volume dan tekanan darah karena turunnya kadar Na+ dan volume air dari cairan tubuh.
  2. Hipoglikemia dan turunnya daya tahan tubuh terhadap stress, sehingga penderita mudah menjadi shock dan terjadi kematian hanya karena stress kecil saja misalnya flu atau kelaparan.
  3. Lesu mental dan fisik.
  1. Sindrom Cushing

Kumpulan gejala – gejala penyakit yang disebabkan oleh sekresi berlebihan dari glukokortikoid seperti tumor adrenal dan hipofisis. Juga dapat disebabkan oleh pemerian obat – obatan kortikosteroid yang berlebihan.
Gejalanya berupa :

  1. Otot – otot mengecil dan menjadi lemah karena katabolisme protein.
  2. Osteoporosis
  3. Luka yang sulit sembuh
  4. Gangguan mental misalnya euphoria (terasa segan)
  1. Sindrom Adrenogenital

Kelainan dimana terjadi kekurangan produksi glukokortikoid yang biasanya akibat kekurangan enzim pembentuk glukokotikoid pada kelenjar adrenal. Akibatnya kadar ACTH meningkat dan zona retikularis dirangsang untuk mensekresi androgen yang menyebabkan timbulnya tanda – tanda kelainan sekunder pria pada seorang wanita yang disebut virilisme yang timbulnya janggut dan distribusi rambut seperti pria, otot – otot tubuh seperti pria, perubahan suara, payudara mengecil, klitoris membesar seperti penis dan kadang – kadang kebotakan.

Pada pria di bawah umur timbul pubertas perkoks, yaitu timbulnya tanda – tanda kelamin sekunder di bawah umur. Pada pria dewasa gejala – gejala diatas tertutup oleh tanda – tanda kelamin sekunder normal yang disebabkan oleh testosterone. Tetapi bila timbul sekresi berlebihan dari estrogen dan progesterone timbul tanda – tanda kelamin sekunder wanita antara lain yaitu ginaekomastia (payudara membesar seperti pada wanita).

  1. Peokromositoma

Tumor adrenal medulla yang menyebabkan hipersekresi adrenalin dan noradrenalin dengan akibat sebagai berikut :

  1. Basa metabolisme meningkat
  2. Glukosa darah meningkat
  3. Jantung berdebar
  4. Tekanan darah meninggi
  5. Berkurangnya fungsi saluran pencernaan
  6. Keringat pada telapak tangan

Kesemuanya menyebabkan berat badan menurun dan tubuh lemah. Pengobatanya melalu operasi. Pembengkakan dari kelenjar tiroid yang menimbulkan pembenjolan pada leher bagian depan. Penyebab struma antara lain peradangan, tumor ataupun defisiensi yodium. Pada defisiensi yodium, struma terjadi karena kadar T4 dan T3 menurun, kadar TASH meningkat, hal ini menrangsang sel – sela folikel untuk hipertropi dan hyperplasia.

6. Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan oleh kalainan hormon yang mengakibatkan sel – sel dalam tubuh tidak dapat menyerap glukosa dari darah. Penyakit ini timbul ketikda dala darah tidak terdapat cukup insulin dalam darah. Pada kedua hal tersebut, sel – sel tubuh tidak mendapat cukup glukosa daridarah sehingga kekurangan energi dan akhirnya terjadi pembakaran cadangan lemak dan protein tubuh. Sementara itu, system pencernaan tetap dapat meyerap glukosa dari makanan sehingga kadar glukosa dalam darah menjadi sangat tinggi dan akhirnya diekskresi bersama urin. Penderita DM dapat meninggal karena penyakit yang dideritanya atau karena komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit ini, misalnya penyakit ginjal, gangguan jantung dan gangguan saraf.

DM terdapat dua macam tipe yaitu DM Tipe I (insuline dependent) yaitu diabetes yang timbul akibat dari kerusakan sel – sel beta pancreas karena infeksi virus atau kerusakan gen. Gen adalah materi genetic yang membawa sifat – sifat yang diturunkan. Diabetes tipe I biasanya timbul sebelum penderita berusia 15 tahun. Penderita membutuhkan suplemen insulin yang diberikan dengan cara penyuntikan.

DM tipe II timbul karena sel – sel tubuh tidak mampu bereaksi terhadap indulin walaupun sel – sel beta pancreas memproduksi cukup insulin. Penyakit ini bersifat mneurun dan merupakan akibat kerusakan gen yang mengkode reseptor insulin pada sel. Biasanya DM tipe II berasosiasi dengan kegemukan dan baru timbul setelah penderita berusia 40 tauhn. Penyakit ini dapat dikontrol dengan pengaturan konsumsi gula dan mengurangi berat badan. Selain itu dianjurkan untuk mengurangi konsumsi lemak dan garam.

Bagaimana cara mendeteksi diabetes, gejala awal diabetes ialah penderita merasa lemas, tidak bertenaga, ingin makan yang manis, sering buang air kecil, dan mudah sekali merasa haus. Kombinasi dari gejala – gejala di atas serta memiliki kerabat yang juga menderita diabetes mengharuskan seseorang melakukan tes toleransi glukosa. Pada tes toleransi glukosa diharuskan minum larutan gula kemudian kadar glukosanya diukur pada tiap interval waktu. Diabetes bukan satu – satunya penyakit yang ditimbulkan oleh insulin. Bebrapa orang memiliki sel – sel beta pancreas yang terlalu aktif sehingga mensekresi terlalu banyak insulin ketika mengkonsumsi gula. Sebagia akibatnya kadar glukosa dalam darah turun dibawah normal. Kondisi ini disebut hipoglisemia, biasanya terjadi 2 – 4 jam setelah makan, yang ditandai dengan rasa lapar, lemas, berkeringat, dan gelisah. Pada beberapa kasus, otak tidak mendapat cukup glukosa sehingga penderita dapat menjadi pingsan, koma, bahkan meninggal. Hipoglisemia tidak lazim ditemukan dan kebanyakan dapat dikontrol dengan meningkatkan frekuensi makan yan glebih serind dan dalam jumlah kecil.

7. Hipotiroidea

Keadaan dimana terjadi kekurangan hormone tiroid. Bila terjadi pada masa bayi dan anak, hipotiroidea menimbulkan kretinisme yaitu tubuh menjadi pendek karena pertumbuhan tulang dan otot tersumbat, disertai kemunduran mental karena sel – sel otak kurang berkembang.

Anak yang keratin memiliki muka bulat, perut buncit, leher pendek, dan lidah yang besar. Kretinisme dapat diobati dengna pemberian hormone tiroid asalkan tidak terlambat. Bila terjadi pada orang dewasa, hipotiroidea menimbulkan miksedema. Gejala – gejala berupa kulit tebal, muka bengkak, rambut kasar, mudah gemuk, lemah, denyut jantung lambat, suhu tubuh rendah, lamban secara fisik atau mental. Hipotiroid dapat terjadi bila terdapat defisiensi yodium pada makanan. Hal ini dapat dihindarkan dengan mengkonsumsi garam beryodium.

  1. Hipertiroidea

Keadaan dimana hormone tiroid disekresikan melebihi kadar normal. Gejala – gejalanya berupa berat badan menurun, gemetaran, berkeringat, nafsu makan besar, jantung berdebar dan BMR maneingkatmelebihi 20 sampai 100.
Hipertiroidea paling sering terdapat pada penyakit Graves, suatu penyakit auto imun dimana terbentuk antibody (thyroid stimulating antibody, TSA6) terhadap reseptor TSH pada sel –sel tiroid, mengaktifkan reseptor – reseptor. Ini, maka kadar T4 dan T3 darah meninkat. Penyakit Graves juga disertai dengan goiter (struma, pembengkakan kelenjar tiroid, dan penonjolan bola mata (eksoptalmus) yang disebabkan oleh reaksi radang terhadap imun kompleks pada otot bola mata eksternal dan jaringan sekitar bola mata

 

 

BAB 8

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM LIMFATIK

 

1.        PEMBESARAN LIMPA

Limpa menghasilkan, memantau, menyimpan dan menghancurkan sel darah. Limpa merupakan organ sebesar kepalan tinju yang lembut dan berongga-rongga, dan berwarna keunguan. Limpa terdapat dibagian atas rongga perut, tepat dibawah lengkung tulang iga di sebelah kiri.

Limpa berfungsi sebagai 2 organ. Bagian yang putih merupakan sistem kekebalan untuk melawan infeksi dan bagian yang merah bertugas membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan dari dalam darah (misalnya sel darah merah yang rusak). Sel darah putih tertentu (limfosit) menghasilkan antibodi pelindung dan memegang peranan penting dalam melawan infeksi. Limfosit dapat dibentuk dan mengalami pematangan di dalam bagian putih limpa.

Bagian merah limpa mengandung sel darah putih lainnya (fagosit) yang mencerna bahan yang tidak diinginkan (misalnya bakteri atau sel yang rusak) dalam pembeluh darah. Bagian merah memantau sel darah merah (menentukan sel yang abnormal atau terlalu tua atau sel yang mengalami kerusakan) dan menghancurkannya.
Karena itu, bagian merah ini kadang disebut sebagai kuburan sel darah merah.

Bagian merah juga berfungsi sebagai cadangan untuk elemen-elemen darah, terutama sel darah putih dan trombosit. Pada banyak binatang, bagian merah ini melepasakan elen darah ke dalam darah sirkulasi pada saat tubuh memerlukannya; tetapi pada manusia pelepasan elemen ini bukan merupakan fungsi limpa yang penting.

Jika limpa diangkat melalui pembedahan (splenektomi), tubuh akan kehilangan beberapa kemampuannya untuk menghasilkan antibodi pelindung dan untuk membuang bakteri yang tidak diinginkan dari tubuh. Sebagai akibatnya, kemampuan tubuh dalam melawan infeksi akan berkurang.

Tidak lama kemudian, organ lainnya (terutama hati) akan meningkatkan fungsinya dalam melawan infeksi untuk menggantikan kehilangan tersebut, sehingga peningkatan resiko terjadinya infeksi tidak akan berlangsung lama.
Jika limpa membesar (splenomegali), kemampuannya untuk menangkap dan menyimpan sel-sel darah akan meningkat. Splenomegali dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih dan trombosit dalam sirkulasi.

Jika limpa yang membesar menangkap sejumlah besar sel darah yang abnormal, sel-sel ini akan menyumbat limpa dan mengganggu fungsinya.
Proses ini menyebabkan suatu lingkaran setan, yaitu semakin banyak sel yang terperangkap dalam limpa, maka limpa akan semakin membesar; semakin membesar limpa, maka akan semakin banyak sel yang terperangkap.

Jika limpa terlalu banyak membuang sel darah dari sirkulasi (hipersplenisme), bisa timbul sejumlah masalah, seperti:

  1. anemia (karena jumlah sel darah merah berkurang)
  2. sering mengalami infeksi (karena jumlah sel darah putih berkurang)
  3. kelainan perdarahan (karena trombosit berkurang).

Pada akhirnya limpa yang sangat membesar juga menangkan sel darah merah yang normal dan menghancurkannya bersama dengan sel-sel yang abnormal.

A. Penyebab

Penyebab pembesaran limpa:

  1. Infeksi
  2. Hepatitis
  3. Mononukleosis infeksiosa
  4. Psitakosis
  5. Endokarditis bakterialis subakut
  6. Bruselosis
  7. Kala-azar
  8. Malaria
  9. Sifilis
  10. Tuberkulosis
  11. Anemia
  12. Elliptositosis herediter
  13. Sferositosis herediter
  14. Penyakit sel sabit (terutama pada anak-anak)
  15. Thalassemia
  16. Kanker darah dan penyakit proliferatif
    1. Penyakit Hodgkin dan limfoma lainnya
    2. Leukemia
    3. Mielofibrosis
    4. Polisitemia vera
    5. Penyakit peradangan
    6. Amiloidosis
    7. Sindroma Felty
    8. Sarkoidosis
    9. Lupus eritematosus sistemik
    10. Penyakit hati
    11. Sirosis
    12. Penyakit penimbunan
  17. Penyakit Gaucher
  18. Penyakit Hand-Sch?ller-Christian
  19. Penyakit Lettere-Siwe
  20. Penyakit Niemann-Pick
    1. Penyebab lain
    2. Kisata dalam limpa
    3. Penekanan terhadap vena dari limpa atau vena yang menuju ke hati
    4. Bekuan darah dalam vena dari limpa atau vena yang menuju ke hati.
  1. Gejala

Limpa yang membesar tidak menyebabkan banyak gejala, dan tidak satupun gejala yang menunjukkan penyebab membesarnya limpa.Limpa yang membesar terletak di dekat lambung dan bisa menekan lambung, sehingga penderita bisa merasakan perutnya penuh meskipun baru makan sedikit makanan kecil atau bahkan belum makan apa-apa.

Penderita juga bisa merasakan nyeri perut atau nyeri punggung di daerah limpa, yang bisa menjalar ke bahu, terutama jika sebagian limpa tidak mendapatkan cukup darah dan mulai mati.

  1. Diagnosa

Biasanya pada pemeriksaan fisik, seorang dokter dapat merasakan adanya pembesaran limpa. Pembesaran limpa juga bisa terlihat pada foto rontgen perut.

Kadang diperlukan CT scan untuk menentukan besarnya limpa dan melihat adanya penekanan terhadap organ di sekitarnya. MRI scan juga memberikan hasil yang sama dengan CT scan dan juga bisa mengikuti aliran darah yang melalui limpa.

Pemeriksaan penyaringan lainnya menggunakan partikel radioaktif yang ringan untuk mengukur besarnya limpa dan fungsinya serta untuk menentukan apakah terdapat penumpukan atau penghancuran sel darah dalam jumlah besar.

Pemeriksaan darah menunjukkan berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Pada pemeriksaan dibawah mikroskop, bentuk dan ukuran sel darah bisa memberikan petunjuk mengenai penyebab membesarnya limpa.
Pemeriksaan sumsum tulang dapat menemukan adanya kanker sel darah (misalnya leukemia atau limfoma) atau penumpukan bahan-bahan yang tidak diinginkan.

Pengukuran protein darah bisa membantu menyingkirkan beberapa keadaan, seperti multipel mieloma, amiloidosis, malaria, kala-azar, bruselosis, tuberkulosis dan sarkoidosis.

Kadar asam urat (produk sisa yang ditemukan dalam darah dan air kemih) dan kadar alkalin fosfatase (suatu enzim yang ditemukan pada beberapa sel darah) dalam leukosit, juga diukur untuk menentukan apakah terdapat leukemia atau limfoma. Pemeriksaan fungsi hati membantu menentukan adanya kerusakan hati.

D. Pengobatan

Jika memnungkinkan, dilakukan pengobatan terhadap penyakit yang menyebabkan terjadinya pembesaran limpa. Pengangkatan limpa melalui pembedahan jarang diperlukan dan bisa menyebabkan masalah, seperti kepekaan terhadap infeksi yang serius.

Tetapi pada keadaan tertentu resiko ini lebih baik dihadapi, yaitu jika:

  1. limpa dengan sangat cepat menghancurkan sel darah merah sehingga terjadi anemia yang berat
  2. cadangan sel darah putih dan trombosit sangat berkurang, sehingga mudah mengalami infeksi dan perdarahan
  3. limpa sangat membesar sehingga menyebabkan nyeri atau menekan organ lainnya
  4. limpa sangat membesar sehingga sebagian dari limpa mengalami perdarahan atau mati.

Sebagai alternatif lain dari pembedahan, kadang dilakukan terapi penyinaran untuk memperkecil limpa.(medicastore)

2.        LIMPA YANG PECAH

Limpa terletak di perut kiri bagian atas, sehingga pukulan hebat di daerah lambung bisa memecahkan limpa, merobek pembungkusnya dan jaringan di dalamnya. Jika limpa pecah, sejumlah besar darah akan masuk dalam rongga perut. Kapsul limpa bagian luar yang kuat untuk sementara waktu bisa menahan perdarahan, tetapi diperlukan pembedahan segera untuk mencegah kehilangan darah yang bisa berakibat fatal.

  1. Penyebab

Limpa yang pecah merupakan komplikasi yang paling serius dari cedera bagian perut karena kecelakaan mobil, kecelakaan pada olahragawan atau karena pemukulan.

GEJALA
Limpa yang pecah menyebabkan perut terasa nyeri.
Darah di dalam perut merupakan iritan dan menyebabkan nyeri; otot-otot perut berkontraksi secara refleks dan teraba kaku. Jika secara berangsur-angsur darah mengalir keluar, bisa tidak timbul gejala-gejala sampai pasokan darah tubuh benar-benar habis dan menyebabkan tekanan darah menurun atau oksigen tidak dapat diantarkan ke otak dan jantung.
Keadaan ini memerlukan transfusi darah segera untuk mempertahankan sirkulasi yang baik dan memerlukan pembedahan segera untuk menghentikan kebocoran; tanpa tindakan tersebut, penderita bisa masuk ke dalam keadaan syok dan meninggal.

  1. Diagnosa

Dilalukan pengambilan foto rontgen perut untuk menentukan penyebab lain (selain limpa yang pecah) dari gejala-gejala tersebut.
Mungkin perlu dilakukan skening dengan bahan radioaktif untuk menelusuri aliran darah dan menemukan kebocoran. Atau bisa dilakukan pengambilan sedikit cairan perut dengan jarum untuk melihat kandungan darah di dalamnya.

  1. Pengobatan
    Jika diduga suatu limpa yang pecah, segera dilakukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan. Biasanya seluruh limpa diangkat, tetapi kadang ahli bedah bisa menutup pecahan yang kecil dan menyelamatkan limpa.
    Sebelum dan sesudah dilakukan pengangkatan limpa, diperlukan tindakan tertentu untuk mencegah infeksi.

Misalnya dilakukan vaksinasi pneumokokus sebelum pembedahan splenektomi dan sesudah pembedahan dianjurkan untuk menjalani vaksinasi influenza setiap tahun. Banyak juga dokter yang menganjurkan pemberian antibiotik sebagai pencegahan. (medicastore)

3.        LIMFADENITIS : PERADANGAN KELENJAR GETAH BENING

Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening.

  1. Penyebab

Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme, yaitu bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus, infeksi menyebar ke kelenjar getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung atau mata.

b. Gejala

Kelenjar getah bening yang terinfeksi akan membesar dan biasanya teraba lunak dan nyeri. Kadang-kadang kulit diatasnya tampak merah dan teraba hangat.

  1. Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk membantu menentukan penyebabnya, bisa dilakukan biopsi (pengangkatan jaringan untuk diperiksa di bawah mikroskop).

  1. Pengobatan

Pengobatan tergantung dari organisme penyebabnya. Untuk infeksi bakteri, biasanya diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut) atau intravena (melalui pembuluh darah). Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening yang terkena bisa dikompres hangat. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan mengecil secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan tidak lagi terasa lunak pada perabaan.

  1. Pencegahan

Menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu mencegah terjadinya berbagai infeksi.(medicastore)

4.        LIMFANGITIS AKUT : PERADANGAN AKUT PADA PEMBULUH GETAH BENING

Limfangitis Akut adalah peradangan pada satu atau beberapa pembuluh pembuluh getah bening.

  1. Penyebab

Bakteri streptokokus. Pembuluh getah bening merupakan saluran kecil yang membawa getah bening dari jaringan ke kelenjar getah bening dan ke seluruh tubuh. Bakteri streptokokus biasanya memasuki pembuluh-pembuluh ini melalui gesekan, luka atau infeksi (terutama selulitis) di lengan atau tungkai.

  1. Gejala

Dibawah kulit dari lengan atau tungkai yang terinfeksi, akan tampak goresan merah yang tidak teratur dan teraba hangat.
Goresan ini biasanya memanjang mulai dari daerah yang terinfeksi menuju ke sekelompok kelenjar getah bening, misalnya yang terdapat di selangkangan atau ketiak. Kelenjar getah bening akan membesar dan teraba lunak.

Penderita biasanya merasakan demam, menggigil, denyut jantungnya meningkat dan sakit kepala. Kadang gejala-gejala ini muncul sebelum terjadinya kelainan di kulit. Penyebaran infeksi dari pembuluh getah bening ke dalam aliran darah akan membawa infeksi ke seluruh tubuh. Pada kulit diatas pembuluh getah bening yang terinfeksi bisa timbul koreng.

  1. Diagnosa

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah putih. Organisme penyebab infeksi hanya dapat dibiakkan di laboratorium bila infeksi sudah menyebar ke aliran darah atau bila terbentuk nanah pada luka yang terbuka.

  1. Pengobatan

Kebanyakan penderita akan sembuh segera setelah diberikan antibiotik, yaitu biasanya dikloksasilin, nafsilin atau oksasilin.

  1. Pencegahan

Memelihara kesehatan dan kebersihan tubuh akan membantu mencegah terjadinya berbagai infeksi.(medicastore)

BAB 9

PATOLOGI ANATOMI PADA SISTEM MEOLOGI (OTOT)

 

  1. KELELAHAN OTOT

Kelelahan otot adalah suatu keadaan di mana otot tidak mampu lagi melakukan kontraksi sehingga mengakibatkan terjadinya kram otot atau kejang-kejang otot.

  1. ASTROFI OTOT

Astrofi otot adalah penurunan fungsi otot akibat dari otot yang menjadi kecil dan kehilangan fungsi kontraksi. Biasanya disebabkan oleh penyakit poliomielitis.

  1. DISTROFI OTOT

Distrofi otot adalah suatu kelainan otot yang biasanya terjadi pada anak-anak karena adanya penyakit kronis atau cacat bawaan sejak lahir.

 

  1. KAKU LEHER / LEHER KAKU / STIFF

Kaku leher adalah suatu kelainan yang terjadi karena otot yang radang / peradangan otot trapesius leher karena salah gerakan atau adanya hentakan pada leher serta menyebabkan rasa nyeri dan kaku pada leher seseorang.

  1. HIPOTROFIT OTOT

Hipotrofit otot adalah suatu jenis kelainan pada otot yang menyebabkan otot menjadi lebih besar dan tampak kuat disebabkan karena aktivitas otot yang berlebihan yang umumnya karena kerja dan olahraga berlebih.

  1. HERNIS ABDOMINAL

Hernis abdominal adalah kelainan pada dinding otot perut yang mengakibatkan penyakit hernia atau turun berok, yaitu penurunan usus yang masuk ke dalam rongga perut.

  1. PENCEGAHAN
  1. selalu melakukan pemanasan agar otot tidak tegang­­
  2. Kram biasanya bisa dicegah dengan tidak segera berolahraga setelah makan dan dengan peregangan otot secara perlahan sebelum olahraga atau pergi tidur. Peregangan membuat otot dan tendon lebih fleksibel dan sedikit mungkin berkontraksi secara spontan. Tidak mengkonsumsi kafein (misalnya, pada kopi atau coklat) dan tidak merokok juga membantu untuk mencegah kram. Obat-obatan yang merangsang, seperti ephedrine atau pseudoephedrine (yang mengandung dekongestan pada banyak sekali obat-obatan di toko), harus tidak digunakan jika kram adalah sebuah masalah. Minum banyak cairan (terutama sekali minuman ringan yang mengandung potassium) setelah olahraga juga membantu mencergah kram.
  3. jangan membawa barang yang berar
  4. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup
  5. Melakukan olah raga dengan beban
  6. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi IV Edward stefanus tehupeiory (Dr. faisal yatim DTM & H,MPH) Penyakit Tulang dan Persendian , Arthritis atau Arthralgia, jakarta, pustaka popular obor, 2006.

Diagnosis dan Penatalaksanaan Artritis Pirai Edu S. Tehupeiory Sub Bagian Reumatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar (robbins & cotran buku saku dasar patologis penyakit edisi VII,,,Mitchell, kumar,abbas & fausto)

www.emedicinehealth.com

http://www.infofisioterapi.com/sternoclavicular-joint-dan-acromioclavicular-joint.html

http://www.infofisioterapi.com/blog/sterno-clavicula-joint.html

http://radiograferatrosumbar.blogspot.com/2011/06/teknik-radiografi-sternoclavicula.html

Ethel,Slonane. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi. Jakarta: EGC

Junquiera, L.C. dan Carneiro. J. 1980. Basic Histology. Alih bahasa: Histologi dasar, oleh adji Dharma.1982. Jakarta: EGC

Ganong, W.F, 1983, Fisiologi Kedokteran, Jakarta : CV. EGC.

Guyton, A. C., 1983, Fisiologi Kedokteran 2, Jakarta : CV. EGC.

Radiopoetro, R., 1986, Psikologi Faal 1, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

http://sditphbatang.blogspot.com/2011/09/alat-indra-manusia.html

http://crayonpedia.org/mw/Alat_Indra_Pada_Manusia_9.1